Sabtu, 08 April 2017

9 PENDAKI DUNIA YANG GUGUR DI EVEREST

 
  Sebagai gunung tertinggi seantero planet Bumi, Gunung Everest memiliki magnet tersendiri bagi para pecinta pendakian. Tentu saja jika bisa menaklukkan gunung bernama lain Sagarmatha dan Chomolungma ini bisa memberikan suatu kebanggaan tersendiri. Orang-orang dari seluruh dunia menyebut gunung ini sebagai salah satu gunung yang harus ditaklukkan. 
  Namun gunung berketinggian puncak 8.848 meter di atas permukaan laut ini tak selalu bersahabat bagi para pendakinya. Cuaca tak terduga menyebabkan tak sedikit yang tercatat sekarat bahkan meninggal di gunung ini. Penanganan terbaik bagi mereka yang kehilangan nyawa di Everest adalah menguburkan di tempat itu, sebab membawa mayat turun ke bawah adalah suatu hal yang sangat berbahaya. 
Berikut ini adalah orang-orang yang wafat di gunung yang berlokasi di Solukhumbu District, Sagarmatha Zone, Nepal, itu, seperti dikutip brilio.net dari Top Tenz, Rabu (30/9): 

1. Karl Gordon Henize (1993)
Pria kelahiran Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat, 17 Oktober 1926 ini adalah seorang profesor astronomi di Universitas Northwestern. Pendakiannya ke Gunung Everest dilaksanakan pada bulan Oktober 1993 ketika usianya 66 tahun. Dalam perjalanan American Expedition itu ia ingin menguji alat dari NASA untuk mengukur radiasi. Namun nahas, Henize meninggal pada ketinggian 6.400 meter dikarenakan High-altitude pulmonary edema (HAPE) pada 5 Oktober 1993. Dia dimakamkan di tempat wafatnya sesuai keinginannya.

2. Peter Kinloch (2010)
  Spesialis IT asal Inggris ini punya impian mendaki tujuh puncak terkenal. Gunung di Nepal ini merupakan puncak impian kelimanya. Kinloch yang kala itu berusia 28 tahun telah berhasil mencapai puncak dan mulai berjalan turun gunung. Kejadian tak menguntungkan baginya itu terjadi pada Mei 2010, sekitar pukul 01.00 waktu setempat. Saat itu ia mulai menunjukkan gejala high altitude cerebral oedema (HAPO), yang merupakan pembengkakan otak yang terjadi di dataran tinggi. Dia mengalami kesulitan melihat, sebelum akhirnya akan buta. Selama 12 jam rekan-rekan memberinya obat-obatan dan oksigen dan mencoba menuntunnya yang telah buta itu turun gunung. Sayangnya, mereka tidak bisa melakukan lebih lama lagi sebab cuaca menjadi buruk. 
  Kinloch terpaksa ditinggalkan pada ketinggian sekitar 8.600 m dan akhirnya meninggal. Setahun kemudian salah seorang temannya mendapati tubuh Kinloch yang sudah meninggal. Tubuhnya diikat sebelum ia meninggal, sehingga kemungkinan ia akan tetap ada di masa mendatang. Menurut penuturan rekannya itu, Kinloch tampak damai, seperti ia berbaring dan tidur siang.

3. Marty Hoey (1982)
  Pada tahun 1982, Marty Hoey mengambil liburan dari pekerjaannya sebagai kepala patroli keamanan di sebuah resor ski di Utah untuk mendaki Gunung Everest. Satu-satunya perempuan ini mendaki bersama 16 laki-laki dalam Whittaker American Expedition. Kejadian malang itu terjadi pada 15 Mei 1982, sekitar pukul 05.30 waktu setempat, dimana Hoey memanjat bagian curam gunung sekitar 8.100 kaki dan seketika gesper keselamatan dirinya dalam posisi terlepas. Rekan-rekan satu timnya hanya bisa menyaksikan tubuh Hoey turun hingga 1.800 m ke jurang. Tubuh Hoey pun tidak pernah bisa ditemukan sampai saat ini. Hoey meninggal pada usia 31 tahun. 

4. Francys Arsentiev (1998)
   Pasangan suami-istri berdarah Rusia Sergei Arsentiev dan Francys Arsentiev mencoba menaklukkan puncak Gunung Everest pada Mei 1998 setelah pernah gagal dalam dua kali percobaan. Percobaan ketiga ini mereka akhirnya berhasil mencapai puncak bahkan tanpa menggunakan tangki oksigen. Namun pada malam 23 Mei ketika perjalanan turun, Francys dan Sergei terpisah. Ketika Sergei menemui tim pendaki lain, diketahui bahwa istrinya masih tertinggal darinya. Sergei pun meminta bantuan oksigen dan obat-obatan pada rombongan kemudian kembali untuk menemukan istrinya. Dia tidak pernah terlihat lagi sejak 23 Mei 1998.
   Adapun Francys, ia ditemukan oleh pendaki Ian Woodall dan Cathy O'Dowd pada pagi hari 24 Mei. Francys menderita kedinginan dan kelelahan yang membuatnya perlahan-lahan mati. Dia memohon bantuan, tapi tidak ada yang bisa dilakukan Woodall dan O'Dowd. Mereka menunggui Francys beberapa lama lantas terpaksa pergi membiarkan perempuan 40 tahun itu mati karena cuaca buruk datang. Kata-kata terakhir Francys adalah, "Jangan biarkan aku mati di sini."
  Pada tahun 2007, Woodall dan O'Dowd kembali ke Everest untuk menguburkan tubuh Francys di rute Northeast Ridge. Sebab selama bertahun-tahun mereka merasa diganggu oleh perempuan yang telah berkebangsaan Amerika Serikat itu.

5. David Sharp (2006)
Pendaki berusia 34 tahun asal Inggris ini berusaha mencapai puncak Gunung Everest sendirian pada Mei 2006 dengan hanya membawa dua tangki oksigen. Puncak Everest berhasil dicapai pada 15 Mei. Namun nahas, Sharp turun saat malam paling dingin sepanjang tahun. Tanpa tim dan radio, pria kelahiran 15 February 1972 ini memilih berlindung di sebuah ceruk kecil yang dikenal Green Boots Cave. Menurut pengakuan pendaki asal New Zealand, Mark Inglis, setidaknya 40 pendaki menempuh perjalanan naik maupun turun yang melewati Sharp tidak berinisiatif untuk membantu. Sharp meninggal karena kedinginan dengan tangan melingkari kaki dalam posisi duduk.

6. Hannelore Schmatz (1979)
  Perempuan Jerman ini berhasil menjejakkan kaki di puncak Everest pada 2 Oktober 1979 di bawah tim Gerhard Schmatz German Expedition yang dipimpin oleh suaminya. Dalam perjalanan turun, rombongan berhenti sekitar 100 meter di atas Camp IV di ketinggian 8.400 meter (terdapat empat kamp sebelum puncak), di mana Schmatz pingsan dan kemudian meninggal karena kelelahan di usianya 39 tahun. Seorang pendaki lain dari tim, Ray Genet, juga meninggal.
  Tubuh Genet tertutup salju sehingga tak tampak oleh pendaki, sedangkan tubuh Schmatz membeku dalam posisi duduk, bersandar ranselnya dengan mata terbuka dan rambutnya tertiup angin. Pada 1984, dua orang asal Nepal, Yogendra Bahadur Thapa dan Sherpa Ang Dorje mencoba ke Everest dengan maksud mengurus tubuh Schmatz namun mereka ikut wafat. Jasad Schmatz tersapu badai dan turun dari posisi semula. 

7. George Mallory (1924)
Guru asal Inggris yang lahir pada 18 Juni 1886 di Cheshire ini 'kalah' pada pendakiannya yang ketiga pada 1924. Pada tahun 1921 dan 1922, ia adalah bagian dari British Mount Everest Expedition. George Herbert Leigh Mallory dan tim memulai pendakian pada 6 Juni 1924 dan pada 8 Juni mereka telah mencapai ketinggian sekitar 8.168 meter. Ternyata keberangkatan pada pagi 8 Juni 1924 ke puncak Everest adalah terakhir kalinya orang-orang melihat mereka hidup. Tubuh Mallory ditemukan 75 tahun setelahnya oleh pendaki China di ketinggian 8.156 meter, tapi tubuh Irvine tak pernah ditemukan. 

8. Rob Hall (1996)
  Pendaki gunung berpengalaman asal Selandia Baru ini memimpin delapan pendaki gunung amatir ke puncak Gunung Everest pada Mei 1996. Pada 11 Mei sekitar pukul 16.30 waktu setempat, salah satu dari tim Hall pingsan. Cuaca memburuk ketika badai datang dan mereka terjebak di ketinggian 8.686 meter. Pada 12 Mei sore Hall menggunakan telepon satelit untuk menghubungi istrinya yang sedang mengandung anak pertama. Kata-kata terakhir yang terucap adalah, "Aku mencintaimu. Tidurlah dengan tenang, kekasihku. Jangan terlalu khawatir". Tubuh Hall telah jatuh lebih dari 3.650 meter karena dirinya mengalami hipotermia. 
   Setelah Hall, tujuh orang lain meninggal dalam bencana badai salju itu. Satu-satunya yang selamat dan bahkan telah mencapai puncak hari sebelumnya, Jim Krauker, menuliskan kisah mereka dalam Into Thin Air. 

9. Tsewang Paljor (1996)
Dari warna sepatu gunung yang masih menempel di kaki, jasad polisi perbatasan asal India ini dijuluki 'green boots'. Bersama tim yang terdiri dari enam orang ekspedisi Indo-Tibetan Border Police, Tsewang Paljor mendaki pada Mei 1996. Pada tanggal 11 Mei, mereka dilanda badai salju yang menjadi penyebab kematian Rob Hall. Paljor dan dua rekan tim berhasil sampai puncak, sementara tiga lainnya berbalik. Pada perjalanan turun, Paljor bersembunyi di gua, namun dia akhirnya meninggal karena kedinginan dengan mengenakan sepatu yang berbeda dari sebelumnya di ketinggian 8.600 m. Dua rekannya, Dorje Morup dan Tsewang Samanla pun ikut wafat. 

10. The Rainbow Valley
The Rainbow Valley bukanlah nama seorang pendaki, namun tempat megah untuk menghabiskan waktu dalam ketenangan. Lembah ini terletak di Gunung Everest pada ketinggian 7.925 meter yang merupakan salah satu kuburan massal terbesar di dunia karena menampung orang-orang meninggal dari pendakian gunung tertinggi di dunia tersebut. Dinamai pelangi sebab dipenuhi mayat yang masih mengenakan jaket dengan warna-warna cerah bagai pelangi.

Sumber Referensi : Www.Brilio.Net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, Blog Ini dibuat dengan konten berbagai sumber untuk menumbuhkan cinta lingkungan pada generasi muda Indonesia baik flora, fauna maupun alamnya dan sama sekali tidak bertujuan komersial.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.