Minggu, 16 Juli 2017

JENIS-JENIS ULAR BERBISA SUKU ELAPIDAE DI INDONESIA

Kawanan Ular Laut
1. Ular cabai atau ular cabe (Calliophis intestinalis)
   Ular cabai atau ular cabe (Calliophis intestinalis) adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae. Ular berukuran kecil ini menyebar terbatas (endemik) di Asia Tenggara. Dalam bahasa Inggris ia dikenal sebagai Banded Malayan Coral Snake, Banded Coral Snake, atau Malayan Striped Coral Snake. Dalam bahasa Melayu dinamai ular tali kasut, yang berarti 'ular tali sepatu' karena melihat rupanya.
 Ular Cabai (Calliophis Intestinalis)
  Ular yang bertubuh kecil, panjang dan ramping; panjang total tubuhnya mencapai 58 cm (catatan lain menyebutkan hingga 71 cm. Kepalanya kecil dan sedikit memipih rata, tak terbedakan dari lehernya, dan moncongnya membulat; sebuah bintik segitiga keputihan terdapat pada masing-masing pelipisnya.
   Punggung berwarna kehitam-hitaman, dengan sejalur garis tipis membujur di atas tulang belakang (vertebrae) yang berwarna jingga, kuning, atau keputihan; garis ini bercabang di atas kepalanya. Pada masing-masing sisi tubuh bagian bawah terdapat lagi satu garis putih yang membujur hingga ke ekornya. Sisi perut putih (kekuningan) dengan belang-belang hitam, dengan warna merah terang di bawah ekornya.
   Sisik-sisik dorsal tersusun dalam 13 deret di tengah tubuh. Sisik-sisik ventral berjumlah 197-273 buah, sedangkan sisik-sisik subkaudal antara 15-33 buah. Perisai labial atas 6 buah, yang ke-3 dan ke-4 menyentuh mata; perisai yang ke-3 juga menyentuh perisai nasal posterior. Perisai anal tunggal, tak berbelah.

Penyebaran geografis
C. intestinalis menyebar di Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, Singapura, Indonesia (Sumatra, Kepulauan Mentawai, Jawa, Kalimantan), dan Filipina. Di Pulau Kalimantan, tercatat pula dari Brunei, Sabah, dan Sarawak.

Kebiasaan dan ekologi
  Ular cabe terutama hidup di hutan primer dan sekunder, namun sering pula didapati di kebun-kebun dan pekarangan. Ia aktif di malam hari (nokturnal), dan hidup di atas dan di bawah tanah (semi-fosorial). Bersifat pemalu, ular ini sering bersembunyi di lubang-lubang tanah, di bawah kayu, tumpukan batu atau serasah. Ular cabe terutama memangsa ular-ular kecil yang hidup di dalam tanah (fosorial), misalnya jenis-jenis Calamaria dan Liopeltis.
Ular Cabai Merah (Calliophis Bivirgata)
   Pada siang hari ular ini tampak jinak, tidak agresif, dan tidak berlari pergi apabila diganggu. Ular cabe memiliki perilaku khas bila merasa terganggu, yakni memipihkan tubuhnya dan menjungkitkan ekornya sehingga bagian yang berwarna merah terlihat jelas. Kadang-kadang ia juga menggulingkan badannya, sehingga perutnya yang berbelang-belang menghadap ke atas; perilaku yang dikenal sebagai aposematic behavior. Ular cabe bertelur 3-5 butir; yang menetas setelah 80-85 hari.

Bisa
   Sebagaimana kerabatnya ular-ular dari suku Elapidae, Calliophis intestinalis memiliki bisa yang sangat kuat dari golongan neurotoksin. Efek bisa ini menimbulkan rasa pusing, mual-mual, dan kesulitan bernafas pada korbannya; terasa sakit pada sekitar luka gigitan, pembengkakan, dan mungkin pula kematian jaringan (nekrosis). Diketahui pula bahwa ada orang yang hingga pada ajalnya karena tergigit ular ini. Kelenjar bisa pada ular cabai memanjang hingga sepertiga tubuh bagian depan.

2. Ular Welang (Bungarus fasciatus)
  Welang (Bungarus fasciatus) adalah nama sejenis ular berbisa anggota suku Elapidae. Umum biasa menyebutnya sebagai ular belang (Indonesia) atau oray belang (Sunda.), nama yang sedikit banyak menyesatkan karena digunakan pula untuk menyebut ular lain yang serupa dan berkerabat dekat: ular weling (Bungarus candidus).
  Kedua ular ini memang mirip bentuk dan warnanya. Nama welang dan weling (dari bahasa Jawa) menunjuk kepada pola belang hitam-putih (atau hitam-kuning) yang berlainan. Pada ular welang, belang hitamnya utuh berupa cincin dari punggung hingga ke perut; sedangkan pada ular weling belang hitamnya hanya sekadar selang-seling warna di bagian punggung (dorsal), sementara perutnya (ventral) seluruhnya berwarna putih.
Ular Welang (Bungarus Fasciatus)
  Dalam bahasa Inggris, ular welang dikenal sebagai Banded Krait. Sementara nama ilmiahnya, Bungarus fasciatus, berasal dari kata dalam bahasa Telugu (India) bungarum yang berarti ‘emas’, merujuk pada belang warna kuning di tubuhnya, dan kata bahasa Latin fasciata yang berarti ‘berbelang’ (fascia, belang atau pita).
   Ular welang diketahui menyebar luas mulai dari India, Bhutan, Nepal, Bangladesh, Cina bagian selatan (termasuk Hong Kong, Hainan, dan Makao), Burma, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaya, Singapura, dan Indonesia (Sumatra, Jawa, Borneo).
Sebaran ular ini meliputi wilayah-wilayah dekat pantai hingga daerah bergunung-gunung sekurangnya sampai ketinggian sekitar 2.300 m dpl., namun umumnya lebih kerap dijumpai di dataran rendah. Ular welang menghuni wilayah-wilayah perbatasan antara hutan-hutan dataran rendah yang lembap dengan yang lebih kering, hutan-hutan pegunungan, semak belukar, rawa-rawa, daerah pertanian, perkebunan dan persawahan. Tidak jarang pula dijumpai dekat permukiman, jalan raya atau sungai.
Jenis-Jenis Ular Welang
  Mangsanya terutama adalah jenis-jenis ular lainnya, meskipun ular ini mau juga memakan aneka jenis reptil, kodok, serta kadang-kadang ikan, dan telur. Ular welang terutama aktif berburu di malam hari (nokturnal) di atas tanah (terestrial), dan pada siang hari bersembunyi di bawah tumpukan kayu atau batu. Di India, ular ini diketahui tidur di rerumputan tinggi, lubang-lubang dan juga di saluran air. Di antaranya, ular welang juga memangsa ular jali (Ptyas korros).
  Hanya sedikit yang diketahui mengenai perbiakannya. Di Burma, dalam suatu penggalian, seekor ular welang betina ditemukan tengah ‘mengerami’ empat butir telurnya, yang kemudian menetas di bulan Mei. Anaknya yang baru menetas berukuran antara 298–311 mm.
  Dilaporkan bahwa ular ini umumnya jinak dan tak mau menggigit orang di siang hari, namun agresif di malam hari. Bila diganggu, biasanya ular ini akan menyembunyikan kepalanya di bawah tumpukan tubuhnya yang bergelung. Akan tetapi hal ini tak dapat dijadikan pegangan mengingat sifat-sifat ular yang amat bervariasi dari individu ke individu dan sukar untuk diramalkan. Ular welang dikategorikan amat berbahaya karena bisanya yang bersifat mematikan, meskipun laporan kematian pada manusia akibat gigitan ular ini termasuk rendah.
Mengingat reputasinya, nama ular ini diabadikan sebagai salah satu kapal perang TNI-AL, yakni KRI Welang.

3. Weling atau ular weling (Bungarus candidus)
Weling atau ular weling (Bungarus candidus) adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae; menyebar di Asia Tenggara hingga ke Jawa dan Bali. Di beberapa tempat dikenal sebagai ular belang, nama yang juga disematkan bagi ular welang (B. fasciatus). Ular warakas dari daerah Cirebon-Indramayu dan sekitarnya adalah bentuk hitam (melanistik) dari weling. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Blue krait atau Malayan krait.
Ular Weling (Bungarus Candidus)

Daerah Penyebaran dan Ekologi
  Weling diketahui menyebar di Thailand, Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, Singapura, Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Ular ini ditemukan di dataran rendah hingga wilayah berbukit dan bergunung hingga elevasi 1.200 m dpl. Weling hidup di hutan-hutan dataran rendah yang lembab atau kering, hutan pegunungan, hutan mangrove, semak belukar, perkebunan, lahan pertanian, dan di sekitar permukiman. Umumnya jenis ini didapati di tempat yang relatif terbuka, seringkali di dekat air, namun juga di bagian yang kering.
   Ular weling bersifat terestrial, hidup di atas tanah, dan umumnya nokturnal, baru keluar setelah gelap dari lubang-lubang persembunyiannya, atau dari bawah tumpukan kayu, batu, atau vegetasi yang rapat. Di siang hari ular ini cenderung lamban dan penakut. Bila diganggu, weling acap berupaya menyembunyikan kepalanya di bawah gulungan badannya.
Mangsa utamanya adalah jenis ular lainnya; di samping itu juga memburu kadal dan katak. Weling bersifat ovipar, bertelur sekitar 10 butir setiap kalinya.

Ular Weling
Bisa
   Bisa ular weling bersifat mematikan dan menimbulkan gejala sebagaimana bisa ular Elapidae pada umumnya, kecuali kobra. Sifat utamanya adalah racun saraf (neurotoxic), yang dapat berakibat rusaknya jaringan saraf dan membawa kelumpuhan. Gigitan kobra yang mengandung bisa, akan menimbulkan rasa sakit yang sangat dan pembengkakan di sekitar luka, meskipun kadang-kadang gejala ini tidak muncul. Di pihak lain gigitan weling tidak demikian, yakni cenderung tidak menimbulkan sakit berlebihan atau bengkak di lokasi luka, namun dapat berakibat fatal.
   Bila bisa –melalui gigitan ular– masuk dalam jumlah cukup besar ke dalam tubuh, beberapa waktu kemudian akan timbul gejala-gejala keracunan yang khas. Untuk ular-ular Elapidae, gejala ini misalnya adalah kelopak mata yang memberat, kesulitan menelan, dan belakangan, kesulitan untuk bernafas; serta pada akhirnya kegagalan kerja jantung. Rata-rata selang waktu antara masuknya bisa melalui luka hingga tibanya kematian, untuk kasus gigitan Elapidae, berkisar antara 5 hingga 20 jam.

4. Ular laut (Hydrophidae)
   Ular laut (Hydrophidae) adalah anak suku dari suku ular berbisa Elapidae yang semuanya hidup di dalam laut, nama ilmiah ular-ular ini sesuai dengan ciri-cirinya (Hydro="air/laut/perairan" dan Ophis="ular"). Ular laut terdiri dari banyak jenis (salah satu di antaranya ular erabu atau laticauda spp.) dan semuanya merupakan ular yang memiliki racun yang sangat kuat.

Ular Laut (Hydrophis Belchory)
Teori evolusi
   Ada sebuah teori yang menyatakan bahwa asal mula ular laut di dunia berasal dari pulau Borneo (Kalimantan) Indonesia. Ular laut tersebut pada mulanya adalah ular welang yang hidup di pantai Pulau Borneo dan kemudian mulai masuk ke laut lepas untuk mencari ikan dan berevolusi dengan lingkungannya hingga menjadi ular laut yang kita kenal sekarang ini.
   Namun, banyak ilmuwan yang menganggap teori evolusi ini salah, sebab studi DNA yang dilakukan menyimpulkan bahwa ular laut memang berkerabat dekat dengan Elapinae, tetapi lebih dekat dengan rumpun Denisoniini (tedung senawan, atau Australian elapid dalam bahasa inggris) yang tinggal di daratan Australia dan Papua.

Ular Laut
Distribusi
Ular laut biasanya hanya hidup di lautan tropis, utamanya di Samudra India bagian tengah dan utara serta bagian barat Samudra Pasifik. Mayoritas jenis dan populasi terbanyak terdapat di wilayah Benggala, seluruh perairan di Indonesia dan Filipina, perairan Australia utara dan timur, dan perairan Oseania (Indo-Australia), khususnya di wilayah Laut Koral yang memiliki terumbu karang terbesar dan terpanjang di dunia. Satu jenis ular laut, yaitu ular laut berperut kuning (Pelamis platurus), wilayah hidupnya bahkan mencapai hampir seluruh wilayah Samudra Pasifik hingga ke perairan Selandia Baru, perairan Hawaii dan perairan di sepanjang pantai barat Amerika mulai dari perairan sebelah barat Santiago, Chile, lalu ke utara hingga Semenanjung California. Sedangkan jenis-jenis seperti ular zaitun (Aipysurus sp.), ular setu (Parahydrophis mertoni), dan ular erabu (Laticauda sp.) lebih banyak hidup di karang-karang dan/atau di perairan teritorial, khususnya wilayah Indo-Australia.

Gigitan ular laut
Bisa ular laut sangat kuat karena memiliki kekuatan 60 kali bisa ular kobra (bahkan ada ular laut yang kekuatan bisanya mencapai 700 kali ular kobra) dan mengandung enzim-enzim perusak seperti layaknya jenis-jenis ular elapidae. Meskipun memiliki racun sangat sangat kuat, ular laut jarang menggigit manusia dikarenakan mulutnya yang sangat kecil dibandingkan dengan jenis ular lainnya. Biasanya manusia akan tergigit ular laut di daerah ujung jari. Ular ini tidak dapat menggigit manusia di lengan, kaki, atau bagian tubuh lainnya karena mulutnya yang kecil tersebut. Meskipun demikian, ular laut tetap merupakan ancaman bagi para nelayan dan penyelam karena racunnya yang sangat kuat. Pada beberapa kasus gigitan ular laut pada seorang penyelam, penyelam yang berusaha memegang dan tergigit oleh ular laut dapat mengalami kegagalan fungsi jantung dan meninggal sebelum sempat mencapai permukaan air. Walaupun sebenarnya kita tidak perlu takut berlebihan terhadap ular laut, akan tetapi kita perlu tetap waspada pada saat berada di pantai, memancing, atau menyelam.

Ular Cobra
5. Ular Sendok
  Ular sendok atau yang juga dikenal dengan nama kobra adalah sejenis ular berbisa dari suku Elapidae. Disebut ular sendok (Jw., ula irus) karena ular ini dapat menegakkan dan memipihkan lehernya apabila merasa terganggu oleh musuhnya. Leher yang memipih dan melengkung itu serupa bentuk sendok atau irus (sendok sayur).
  Istilah kobra dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, cobra, yang sebetulnya juga merupakan pinjaman dari bahasa Portugis. Dalam bahasa terakhir itu, cobra merupakan sebutan umum bagi ular, yang diturunkan dari bahasa Latin colobra (coluber, colubra), yang juga berarti ular. Ketika para pelaut Portugis pada abad ke-16 tiba di Afrika dan Asia Selatan, mereka menamai ular sendok yang mereka dapati di sana dengan istilah cobra-capelo, ular bertudung. Dari nama inilah berkembang sebutan-sebutan yang mirip dalam bahasa-bahasa Spanyol, Prancis, Inggris dan bahasa Eropa. Nama ilmiah mereka, Naja, berasal dari kata bahasa Sansekerta, Nāgá (नाग) yang berarti "ular bertudung". Ular sendok dalam bahasa Indonesia merujuk pada beberapa jenis ular dari marga Naja. Sedangkan ular king-cobra (Ophiophagus hannah) biasanya disebut dengan istilah ular anang atau ular tedung.

Bisa Ular sendok
  Bisa atau racun ular sendok merupakan salah satu yang terkuat dari jenisnya, dan mampu membunuh manusia. Ular sendok melumpuhkan mangsanya dengan menggigit dan menyuntikkan bisa neurotoksin pada hewan tangkapannya (biasanya binatang mengerat atau burung kecil) melalui taringnya. Bisa tersebut kemudian melumpuhkan saraf-saraf dan otot-otot si korban (mangsa) dalam waktu yang hanya beberapa menit saja. Selain itu, ular sendok dapat melumpuhkan korbannya dengan menyemprotkan bisa ke matanya; namun tidak semua kobra dapat melakukan hal ini.
  Kobra hanya menyerang manusia bila diserang terlebih dahulu atau merasa terancam. Selain itu, kadang mereka juga hanya menggigit tanpa menyuntikkan bisa (gigitan ‘kosong’ atau gigitan ‘kering’). Maka tidak semua gigitan kobra pada manusia berakhir dengan kematian, bahkan cukup banyak persentase gigitan yang tidak menimbulkan gejala keracunan pada manusia.
  Meski demikian, orang harus tetap berwaspada apabila tergigit ular ini, namun jangan panik. Yang terbaik, perlakukan luka gigitan dengan hati-hati tanpa membuat luka-luka baru di sekitarnya (misalnya untuk mencoba mengeluarkan racun). Jika mungkin, balutlah dengan cukup kuat (balut dengan tekanan) bagian anggota tubuh antara luka dengan jantung, untuk memperlambat –namun tidak menghentikan– aliran darah ke jantung. Usahakan korban tidak banyak bergerak, terutama pada anggota tubuh yang tergigit, agar peredaran darah tidak bertambah cepat. Kemudian bawalah si korban sesegera mungkin ke rumah sakit untuk memperoleh antibisa (biasanya di Indonesia disebut SABU, serum anti bisa ular) dan perawatan yang semestinya.
  Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.

Gejala-gejala Keracunan
  Penting untuk diingat sekali lagi, bahwa gigitan ular sendok pada manusia tidak semuanya berakhir dengan kematian. Pada kebanyakan kasus gigitan, ular menggigit untuk memperingatkan atau mengusir manusia. Sehingga hanya sedikit atau tidak ada racun yang disuntikkan. Jika pun racun masuk dalam jumlah yang cukup, apabila korban ditangani dengan baik, umumnya belum membawa kematian sampai beberapa jam kemudian. Jadi, kematian tidak datang seketika atau dalam beberapa menit saja. Tidak perlu panik.
  Bisa kobra, seperti umumnya Elapidae, terutama bersifat neurotoksin. Yakni memengaruhi dan melumpuhkan kerja jaringan saraf. Si korban perlahan-lahan akan merasa mengantuk (pelupuk mata memberat), kesulitan bernafas, hingga detak dan irama jantung terganggu dalam beberapa jam kemudian.
  Akan tetapi tak serupa dengan akibat gigitan ular Elapidae lainnya, bisa ular sendok Jawa dan Sumatra dapat merusak jaringan di sekitar luka gigitan. Jadi, juga bersifat hemotoksin. Lebam berdarah di bawah kulit dapat terjadi, dan rasa sakit yang amat sangat muncul (namun tidak selalu) dalam menit-menit pertama setelah tergigit. Sekitar luka akan membengkak, dan bersama dengan menjalarnya pembengkakan, rasa sakit juga turut menjalar terutama di sekitar persendian. Lebam lama-lama akan menghitam dan menjadi nekrosis. Dalam pada itu, kemampuan pembekuan darah pun turut menurun.
  Tanpa gejala-gejala di atas, kemungkinan tidak ada racun yang masuk ke tubuh, atau terlalu sedikit untuk meracuni tubuh orang. Namun juga perlu diingat, bahwa umumnya gigitan ular –berbisa atau pun tidak– hampir pasti menumbuhkan ketakutan atau kekhawatiran pada manusia. Telah demikian tertancam dalam jiwa kita manusia, anggapan yang tidak tepat, bahwa (setiap) ular itu berbisa dan (setiap) gigitan ular akan mengakibatkan kematian.
  Pada kondisi yang yang berlebihan, rasa takut ini dapat mengakibatkan syok (shock) pada si korban dengan gejala-gejala yang mirip. Korban akan merasa lemah, berkeringat dingin, detak jantung melemah, pernapasan bertambah cepat dan kesadarannya menurun. Bila terjadi, syok ini penting untuk ditangani karena dapat membahayakan jiwa pula. Akan tetapi ini bukanlah gejala keracunan, sehingga sangat penting untuk mengamati perkembangan gejala pada korban gigitan untuk menentukan tindakan penanganan yang tepat.

Ragam Jenis dan Penyebarannya
Ular sendok hidup di daerah tropis dan gurun di Asia dan Afrika. Beberapa jenis kobra dapat mencapai panjang 1,2–2,5 meter. Ular anang (atau King-cobra dalam bahasa Inggris) bahkan dapat tumbuh sampai dengan 5,6 m, dan merupakan jenis ular berbisa terpanjang di dunia. Terdapat 29 jenis kobra. Dua jenis diantaranya merupakan kobra endemik dari Indonesia. 
Warna yang Mengacaukan

Berbagai jenis kobra dapat memiliki warna dari hitam atau coklat tua sampai putih-kuning. Pada masa lalu, warna tubuh dan kemampuan menyemburkan bisa –melalui kombinasi dengan beberapa ciri lainnya– digunakan sebagai dasar untuk membedakan jenis-jenis kobra. Akan tetapi kini diketahui bahwa variasi warna dalam satu jenis (spesies) kobra begitu beragam, sehingga mustahil digunakan sebagai patokan pengenalan jenis. Sebagai teladan, ular sendok Jawa diketahui berwarna hitam kelam di Jawa bagian barat namun kecoklatan hingga kekuningan di Jawa timur dan Nusa Tenggara.
  Yang lebih merumitkan ialah beberapa kobra yang berbeda spesiesnya dapat memiliki warna atau pola warna yang bermiripan. Di Thailand umpamanya, yang memiliki beberapa jenis kobra, peneliti harus lebih berhati-hati untuk menetapkan identitas ular yang ditemuinya. Karena perbedaan spesies ini akan bersifat menentukan bagi hasil risetnya kelak. Perbedaan spesies ini juga berarti perbedaan karakter bisa (racun), yang penting untuk diketahui apabila menangani korban gigitan ular.

6. Ular anang atau lanang (Ophiophagus hannah)
  Ular anang atau lanang (Ophiophagus hannah) adalah ular berbisa terpanjang di dunia, spesies terpanjang yang ditemukan mencapai sekitar 5,7 m. Akan tetapi panjang hewan dewasa pada umumnya hanya sekitar 3 – 4,5 m saja. Ular ini ditakuti orang karena bisanya yang mematikan dan sifat-sifatnya yang terkenal agresif, meskipun banyak catatan yang menunjukkan perilaku yang sebaliknya. Ular anang juga dikenal dengan beberapa nama lokal seperti oray totog (Sunda), ular tedung abu, tedung selor (Kalimantan.) dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut king cobra (raja kobra) atau hamadryad.
Penyebaran, habitat dan kebiasaan
  Ular anang menyebar mulai dari India di barat, Bhutan, Bangladesh, Burma, Kamboja, Cina selatan, Laos, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, Kepulauan Andaman, Indonesia dan Filipina. Di Indonesia ular ini ditemukan di Sumatra, Kep. Mentawai, Kep. Riau, Bangka, Borneo, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
   Ular anang didapati mulai dari dekat pantai hingga ketinggian sekurang-kurangnya 1.800 m dpl. Ular ini menghuni aneka habitat, mulai dari hutan dataran rendah, rawa-rawa, wilayah semak belukar, hutan pegunungan, lahan pertanian, ladang tua, perkebunan, persawahan, dan lingkungan pemukiman. Ular yang lincah dan gesit ini biasa bersembunyi di bawah lindungan semak yang padat, lubang-lubang di akar atau batang pohon, lubang tanah, di bawah tumpukan batu, atau di rekahan karang.
Mangsa
   Sebagaimana namanya (Ophiophagus berarti pemakan ular), mangsa utamanya adalah jenis-jenis ular yang berukuran relatif besar, seperti sanca (Python) atau ular tikus (Ptyas). Juga memangsa ular-ular yang berbisa lainnya dan kadal berukuran besar seperti halnya biawak. Ular anang yang dikurung mau juga memakan daging atau tikus mati yang ditaruh di kandang ular atau digosokkan ke tubuh ular agar berbau seperti ular. Setelah menelan mangsa yang besar, ular anang dapat hidup beberapa bulan lamanya tanpa makan lagi. Ini dikarenakan laju metabolismenya berlangsung lambat.
  Ular anang berburu dengan mengandalkan penglihatan dan penciumannya. Sebagaimana ular-ular pada umumnya, ular anang membaui udara dengan menggunakan lidahnya yang bercabang, yang menangkap partikel-partikel bau di udara dan membawanya ke reseptor khusus di langit-langit mulutnya. Reseptor yang sensitif terhadap bau ini disebut organ Jacobson. Jika tercium bau mangsanya, ular ini akan menggetarkan lidahnya dan menariknya keluar masuk untuk memperkirakan arah dan letak mangsanya itu. Matanya yang tajam (ular anang dapat melihat mangsanya dari jarak sejauh 100 m), indra perasa getaran di tubuhnya yang melata di tanah, dan naluri serta kecerdasannya sangat membantu untuk menemukan mangsanya. Ular ini dapat bergerak cepat di atas tanah dan memanjat pohon dengan sama baiknya. Mangsanya, jika perlu, dikejarnya hingga di atas pohon.
   Ular anang berburu baik pada siang maupun malam, akan tetapi jarang terlihat aktif di malam hari. Kebanyakan herpetologis menganggapnya sebagai hewan diurnal.Sebagaimana ular kobra yang lain, apabila merasa terancam dan tersudut ular anang akan menegakkan lehernya serta mengembangkan tulang rusuknya sehingga kurang lebih sepertiga bagian muka tubuhnya berdiri tegak dan memipih serupa spatula. Sekaligus, posisi ini akan menampakkan warna kuning dan coret hitam di dadanya, sebagai peringatan bagi musuhnya. Melihat postur tubuhnya ini dan gerakannya yang gesit tangkas, orang umumnya merasa takut dan menganggapnya sebagai ular yang agresif serta berbahaya, yang dapat menyerang setiap saat. Pandangan ini, menurut para herpetolog, terlalu dilebih-lebihkan dan hanya benar sebagian.
   Kebanyakan ular anang, seperti umumnya hewan, takut terhadap manusia dan berusaha menghindarinya. Ular ini juga tidak seketika menyerang manusia yang ditemuinya, tanpa ada provokasi sebelumnya. Kenyataan bahwa ular ini cukup banyak yang ditemui di sekitar permukiman manusia, sementara jarang orang yang tergigit olehnya, menunjukkan bahwa ular anang tak seagresif seperti yang disangka. Walaupun demikian, kewaspadaan tinggi tetap diperlukan apabila menghadapi ular ini. Ular anang dikenal sebagai ular yang amat berbisa, yang gigitannya dapat membunuh manusia. Seperti juga ular-ular lainnya, temperamen ular ini sukar diduga. Beberapa individunya bisa jadi lebih agresif daripada yang lainnya. Demikian pula, pada masa-masa tertentu seperti pada saat menjaga telur-telurnya, ular ini dapat berubah menjadi lebih sensitif dan agresif. Telah dilaporkan adanya serangan-serangan ular anang terhadap orang yang melintas terlalu dekat ke sarangnya.

TelurUlar Cobra Yang Menetas
Perbiakan
Ular anang bertelur sekitar 20–50 butir, yang diletakkannya di dalam sebuah sarang penetasan terbuat dari timbunan serasah dedaunan. Sarang ini terdiri dari dua ruangan, di mana ruang yang bawah digunakan untuk meletakkan telur dan ruang yang atas dihuni oleh induk betina yang menjaga telur-telur itu hingga menetas. Di India, ular ini bertelur sekitar bulan April hingga Juli. Telur-telurnya berukuran sekitar 59 x 34 mm, yang sedikit bertambah besar dan berat selama masa inkubasi. Telur-telur ini menetas setelah 71–80 hari, dan anak-anak ular yang keluar memiliki panjang tubuh antara 50–52 cm.

Bisa ular anang
   Bisa ular anang terutama tersusun dari protein dan polipeptida, yang dihasilkan dari kelenjar ludah yang telah berubah fungsi, yang terletak di belakang mata. Tatkala menggigit mangsanya, bisa ini tersalur melalui taring sepanjang sekitar 8–10 mm yang menancap di daging mangsanya. Meskipun racun ini dianggap tak sekuat bisa beberapa ular yang lain, ular anang sanggup mengeluarkan jumlah bisa yang jauh lebih besar dari ular-ular lainnya. Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa satu kali gigitan ular ini dapat mengeluarkan sejumlah bisa yang cukup untuk membunuh 10 orang. Beruntunglah bahwa kebanyakan gigitan ular ini pada manusia hanya memasukkan bisa dalam jumlah yang tidak fatal.
  Bisa ular ini bersifat neurotoksin, yakni menyerang sistem saraf korbannya, serta dengan cepat menimbulkan rasa sakit yang amat sangat, pandangan yang mengabur, vertigo, dan kelumpuhan otot. Pada saat-saat berikutnya, korban akan mengalami kegagalan sistem kardiovaskular, dan selanjutnya kematian dapat timbul akibat kelumpuhan sistem pernapasan. Apabila bisa telah masuk dalam jumlah yang cukup, kematian hanya dapat dicegah dengan penanganan serta pemberian antivenin (antibisa) yang tepat dan cepat.

Ular anang dan manusia
Meskipun ular anang memiliki bisa yang mematikan dan kehadirannya ditakuti banyak orang, ia sebenarnya adalah hewan pemalu yang sedapat-dapatnya menghindari pertemuan dengan manusia.
Di wilayah sebarannya, masih ada beberapa jenis ular berbisa lainnya yang gigitannya lebih fatal dan lebih banyak memakan korban, di antaranya adalah ular kobra kaca-tunggal (Naja kaouthia), Bandotan puspa (Daboia russelli), dan ular welang (Bungarus fasciatus).
King Kobra and Woman
  Di Burma, ular anang kerap digunakan dalam pertunjukan pawang ular perempuan. Wanita pawang ular itu biasanya memiliki tato yang dibuat menggunakan tinta bercampur bisa ular, yang diyakini akan melindungi dirinya dari ularnya itu. Di akhir pertunjukannya, secepat kilat si pawang akan mencium ubun-ubun ular berbisa yang tengah menegakkan leher dan tudungnya ini.
  Kini populasi ular anang di banyak tempat telah terganggu oleh kerusakan habitatnya, terutama oleh hilangnya hutan-hutan yang biasa dihuninya. Meskipun ular ini oleh IUCN belum dimasukkan ke dalam hewan yang terancam kepunahan, CITES telah memandang perlu untuk mengawasi perdagangannya dan memasukkannya ke dalam Apendiks II.

Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, Blog Ini dibuat dengan konten berbagai sumber untuk menumbuhkan cinta lingkungan pada generasi muda Indonesia baik flora, fauna maupun alamnya dan sama sekali tidak bertujuan komersial.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.