"SELAMAT DATANG DI BLOG EKOGEO"(Pendidikan, Geografi dan Lingkungan)

Minggu, 13 Mei 2012

PENDAKI TEWAS DI GUNUNG CIREMAI

Satu lagi pendaki Gunung Ciremai jadi tumbal. Nurdiyanto, pelajar SMK 1 Jatibarang, Indramayu tewas di puncak Ciremai. Ia tewas setelah dihantam badai di ketinggian 2.400 di atas permukaan laut. Seperti apa keangkeran Gunung Ciremai?
Gunung Ciremai (3078 m)
PARA remaja yang mendaki Gunung Ciremai ini merupakan alumni SMP 1 Jatibarang, Indramayu. Mereka mendaki gunung dalam rangka reuni. Empat orang di antara mereka saat ini bersekolah di SMK 1 Jatibarang dan lima lainnya bersekolah di SMA Sliyeg, Indramayu. Kesembilan pendaki ini mulai mendaki Gunung Ciremai Selasa (26/6/2007) siang.
Rabu (27/6/2007) dinihari, mereka sampai di puncak gunung. Rabu sore mereka turun dari puncak. Saat turun dari puncak, Nurdiyanto, siswa SMK 1 Jatibarang, tiba-tiba mengalami sesak napas di Pos Cigorowong. Karena tidak kuat berjalan, Nurdiyanto ditandu temannya. Sampai di Pos Gua Lawet pukul 03.00 WIB, Kamis (28/6/2007), mereka berhenti, karena dihantam badai. Mereka berkemah menunggu badai reda. Begitu badai reda, mereka melanjutkan perjalanan. Pukul 07.00 WIB, mereka kaget ketika melihat Nurdiyanto tidak bernapas.
Tragisnya, delapan rekannya tak kuat membawa pulang jenazahnya. Untuk mencapai pos perkampungan perlu 10 jam perjalanan. Mereka turun, sementara jenazah Nurdiyanto ditinggalkan. Pukul 17.00 WIB, Jumat (29/6/2007), 15 orang dari LSM AKAR dan KURPALA menuju Pos Gua Lawet. Tim SAR gabungan tersebut menemukan mayat Nurdiyanto sudah kaku dan dalam keadaan telentang.
Mistik Gunung Ciremai
Gunung Ciremai yang berketinggian 3078 meter di atas permukaan laut memiliki banyak jenis tumbuhan. Mulai dari pohon pinus, pohon seruni, dan dan pohon kopi. Jenis margasatwa pun banyak berkeliaran. Dari sekian banyak tumbuhan dan jenis burung ada beberapa hewan yang dipercaya mempunyai kekuatan mistik. Mendekati puncak, banyak beterbangan ayam alas dengan bulunya yang bersih mengkilat. Gunung Ciremai identik dengan Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo, penyebar Islam di Jawa Barat.
Sekitar tahun 1521-1530, Sunan Gunung Jati diyakini bertapa di puncak Ciremai. Ketika itu, bangsa Portugis begitu kuat menekan para ulama, pejuang, dan rakyat kecil. Menjelang peperangan, Sunan Gunung Jati naik ke puncak Ciremai bertapa, menyendiri dan bermunajad kepada Tuhan. Tempat tapa dan pertemuan para wali itu bernama Batulingga dan diyakini oleh masyarakat Cirebon sebagai tempat ngalap berkah memberi manfaat dan membantu orang-orang yang dalam kesulitan.
Nyi Linggi dan Macan Tutul
Satu misteri yang selalu menjadi perbincangan masyarakat sekitar Gunung Ciremai adalah misteri Nyi Linggi dan dua macan kumbang. Menurut Maman, salah satu juru kunci Ciremai, setelah Sunan Gunung Jati tidak bertapa di Batulingga, maka Nyi Linggi datang ke tempat tersebut menggantikan Sunan Gunung Jati.
Namun kedatangan Nyi Linggi ke Batulingga tidak sendirian, ia ditemani oleh dua binatang kesayangannya yaitu macan kumbang. Kedatangan Nyi Linggi ke Batulingga ingin mendapatkan ilmu kedigdayaan. Tapi sayangnya Nyi Linggi gagal memperoleh ilmu yang diinginkan. Nyi Linggi meninggal dunia di Batulingga sementara dua temannya yaitu macan tutul hilang entah ke mana. Kabarnya masyarakat setempat menemukan mayat Nyi Linggi. Kejadian aneh sering terjadi di sekitar Batulingga, yaitu sosok Nyi Linggi dan dua macan tutul sering menampakkan diri.
Cikal Bakal Nenek Moyang
Selain sebagai tempat bertapanya Sunan Gunung Jati, ternyata Gunung Ciremai sejak ribuan tahun silam telah dihuni oleh manusia purba. Masyarakat Kuningan dan sekitarnya terutama mereka yang hidup di kawasan kaki Gunung Ciremai merasa bangga. Mereka yakin bahwa asal-usul orang-orang Jawa Barat datangnya dari Gunung Ciremai. Keyakinan tentang hal ini diperkuat oleh ditemukannya beberapa benda bebatuan yang diyakini zaman Batu Besar. Umurnya sekitar 3.000 tahun Sebelum Masehi.
Pada tahun 1972 ditemukan batu besar berbentuk peti mati. Penemuan itu mengandung makna bahwa di kaki Gunung Ciremai telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun Sebelum Masehi. Dipercaya pula bahwa arwah nenek moyang berkumpul dan sering menampakkan diri. Para ahli peneliti sepakat bila wilayah Kuningan Gunung Ciremai merupakan tempat bermukim manusia tua usia. Mereka memuja arwah nenek moyang untuk meminta berkah kesuburan tanah, kemakmuran, dan kesejahteraan.
Injak Bumi Hindari Hantu
Maman (juru kunci Ciremai yang mengantar posmo ke puncak Ciremai) selalu menghentikan langkahnya dan mengucapkan Assalamualikum ketika memasuki pos. Menurut Maman, jika ingin selamat dan tidak diganggu oleh dedemit nakal injak bumi sebanyak tiga kali lalu ucapkan salam. Ini bermakna bahwa penghuni pos atau dedemit penguasa tidak merasa tersinggung oleh datangnya manusia. ‘’Di sini (Ciremai) banyak manusia jadi korban. Tidak hanya manusia yang mati, tapi juga kuda. Mereka tidak kuat melaksanakan tugas yang dibebankan penjajah Belanda, hingga menemui ajalnya,’’ kata Maman.
Misteri Jalak Hitam
Ketika perjalanan sudah mencapai Pengalap atau pos VI, berarti pendakian telah mencapai separuh. Dan harus berhati-hati jika sudah memasuki Pengalap atau pos VI. Pengalap berarti jemputan. Di pos Pengalap setiap pendaki akan didatangi dua binatang yang sampai sekarang masih misteri keberandaannya, yaitu Jalak Hitam dan Tawon Hitam.
Maman yang mengaku naik ke puncak 3 kali setiap bulan, sampai sekarang mengaku belum tahu mengapa Jalak Hitam selalu mengiringi pendaki dari Pengalap ke Seruni. Dan, juga Tawon Hitam yang selalu datang mengganggu. Pengasinan berarti asin. Khusus bagi masyarakat Linggarjati bermakna bahwa siapa saja yang ingin mencapai puncaknya dengan cepat dan selamat sampai di rumah diharuskan membawa ikan asin.
Enam Belas Jam Menuju Puncak
Gunung Ciremai diapit dua kabupaten yaitu Kuningan sebelah timur dan Majalengka sebelah barat. Untuk mencapai puncak Ciremai bisa melalui tiga jalur yaitu Linggarjati dari arah timur, Pelutungan dari arah selatan, dan Majalengka dari arah barat. Medan paling berat dan menguras tenaga dan juga sangat berbahaya adalah jalur dari sisi timur melewati Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Jarak tempuhnya kurang lebih 8 km, 90 persen jalannya terjal.
Gunung Ciremai termasuk salah satu gunung paling berat di tanah Jawa. Masyarakat setempat dan juga para pendaki menyebutnya jalur maut. Untuk mencapai puncaknya butuh waktu sekitar 12 sampai 16 jam perjalanan. Tergantung kekuatan fisik pendaki. Gunung Ciremai memang tidak terlalu tinggi, hanya 3.078 mdpl. Namun start pendakian dimulai dari ketinggian sekitar 750 mdpl, maka perjalanan cukup panjang. Dengan demikian, sisa perjalanan menuju puncak Ciremai sekitar 2.350 meter garis vertikal atau sekitar 8 km melalui jalur. Perlu diketahuil, dari semua gunung yang ada di tanah Jawa hanya Gunung Ciremai-lah yang start pendakiannya dimulai dari ketinggian 750 mdpl. Jalur dakinya tidak ada jalan datar, 90 persen berjalur terjal dan sudut kemiringannya antara 70 sampai 80 derajat.
Pantangan di Gunung Ciremai
Menurut juru kunci gunung, pantangan di Gunung Ciremai tidak boleh mengeluh, memegang lutut, kencing dan buang air besar sembarangan. Setiap memasuki pos diharuskan mengucapkan salam sebagai tanda minta izin masuk dan pertanda kesopanan. Menurut Maman, setiap pos yang jumlahnya 12 pos banyak dihuni dedemit. Ucapan salam tidak hanya ketika datang tapi juga saat meninggalkan gunung. hartono
sumber : http://posmo.net/RUBRIK/427/peristiwa.html



Dua Pendaki Gunung Ciremai Tewas
KUNINGAN -- Misteri gunung tertinggi di Jawa Barat, Gunung Ciremai kembali membuat bulu kuduk merinding. Senin malam 13 September, gunung berketinggian 3.708 Mdpl itu memakan dua korban jiwa.
Kedua korban tewas yakni, Topan 20, warga Desa Kandanghaur, Kabupaten Indramayu dan Adul, 19, warga Losari, Kabupaten Cirebon.

Selain itu, tiga orang terluka parah dalam kondisi patah tulang. Mereka adalah, Galuh, 18, dan Lufi, 17, warga Losari patah tangan. Satu lagi Putra 17 warga Kalibuntu patah kaki. Sedangkan enam temannya, Ipang, Yudi, Angga, Dandi, warga Losari, Ahmad dan Tanto warga Desa Kandanghaur dalam kondisi selamat.

Musibah maut itu berawal ketika rombongan berjumlah 11 orang itu tengah mendaki Gunung Ciremai. Rombongan berangkat sekitar pukul 19.30 melalui Posko Pendakian Linggarjati, Kecamatan Cilimus.

Pukul 21.00, di ketinggian 1225 Mdpl, tepatnya Blok Lewung Datar Gunung Ciremai, rombongan dikejutkan oleh tumbangnya pohon besar jenis pinus ke arah mereka. Karena jalan kecil dan licin akibat selesai diguyur hujan, mereka tidak berkutik untuk menghindar.

Akibatnya pohon tua itu menimpa lima anggota rombongan. Dua korban, Topan dan Adul tewas seketika dalam kondisi cukup mengerikan. Keduanya kena gencet batangan pohon besar itu. Tiga orang, Galuh, Lufi dan Putra juga kena hajar batang pohon sehingga mengalami patah tulang di bagian tangan dan kaki.

Suara teriakan histeris minta tolong terus terdengar. Ringisan tertahan karena kesakitan membuat suasana jadi mencekam. Beruntung beberapa korban selamat berhasil menghubungi petugas Posko Pendakian.

Puluhan polisi, petugas Tim SAR dari Badan Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) Kuningan dibantu masyarakat sekitar segera meluncur guna melakukan evakuasi. Karena jalan cukup terjal, proses evakuasi baru selesai, Selasa 14 September pukul 03.00 WIB.

Seluruh korban tewas, patah tulang dan korban selamat dibawa ke RSUD 45 Kuningan guna pemeriksaan fisum etrefertum. Para korban selamat juga dimintai keterangan oleh polisi termasuk petugas Pos Pendakian Gunung Ciremai. Selanjutnya semua korban dikembalikan ke pihak keluarga untuk diselamatkan.

Kapolres AKBP Yoyoh Indayah MSi, melalui Kasat Reskrim AKP Sukirman menjelaskan evakuasi korban tidak menemukan kendala berarti. Semua berjalan dengan baik. Mengenai korban, pihak keluarga juga sudah menyadari bahwa kejadian ini musibah. "Seluruh korban sudah kita kembalikan kepada pihak keluarga masing-masing," katanya.(jpnn)

LEBIH 50 PENDAKI TEWAS DI GUNUNG CIREMAI SEJAK TAHUN 1980-AN

 DI sekitar hutan Gunung Ciremai, terutama di bagian punggung atau bukit arah utara dan Barat (Majalengka), dengan bagian muka arah Timur (Kuningan) yang tampak bersih, ternyata dihuni mahluk haluspara leluhur petilasan dan pengikutnya.
Di alam ghaib mereka terus memantau dan menjaga Ciremai dari pengunjung yang ceroboh, gegabah, tidak beretika, serampangan.
“Itu bisa dijadikan pegangan, karena Saya sudah lama menjelajahi Ciremai. Merasakan ada hawa makhluk halus, meskipun tidak seratus persen percaya, namun sudah banyak buktinya. Contohnya, para pendaki yang ceroboh dan tidak mendengarkan petuah, banyak yang tersesat.
Sedangkan bagi wanita, jangan coba-coba mendaki ketika menstruasi, karena pasti akan kerasukan jin,”. Maman Aruman, anggota SAR PPGC Linggarjati
Masih soal etika, ternyata makhluk halus tidak suka terhadap manusia yang asal bicara, sesumbar dan marah, jika si pendaki memasuki kawasan Cibunar (camping ground) tidak mengucakan salam. Karena Cibunar yang merupakan pintu gerbang petilasan Buyut Imah, konon ia yang bernama asli Siti Khotimah tersebut tidak rela jika manusia memasuki petilasannya tersebut tiidak mengucapkan salam.
Kejadian tersebut tidak hanya menimpa kepada satu atau dua orang pengunjung saja, menurut Aruman, setiap pekan dengan jumlah pengunjung sekitar 100 orang, pasti ada saja yang sakit karena kemasukan makhluk halus. Tidak hanyna Buyut Imah, konon, di setiap titik (ada 11 titik) dihuni para roh leluhur.
Selain Nyi Mas Ratu Kunti, penguasa Sanggabuana, Ciremai dahulu kala pernah dijajaki dan merupakan tempat seminarnya para Wali Songo. Ketika penyebaran Islam mulai datang ke daerah Jawa Barat, para Wali Songo sempat linggih (duduk/singgah) di kawasan Linggajati.
Mereka tidak sendiri menapaki pegunungan tersebut, dari Wali Songo pertama hingga ke-sembilan selalu dipandu seorang ahli yang bernama Raja Soleman. Ia dengan gigihnya selalu mendampingi para wali dan mensejajarkannya dengan cara masuk ke dalam Kawah Ciremai.
Puluhan Orang Menjadi Korban
Sebagai manusia, kita percaya, umur ada di tangan Allah SWT. Termasuk puluhan orang dari pelosok negeri ini telah menghembuskan nafas di kawasan Gunung Ciremai. Dari tahun 1973 hingga tahun 2009, lebih dari 50 pendaki telah tewas di kawah gunung.
Seperti korban pendakian menimpa Julpi Noval dan Zaenal Arifin, dua siswa asal Ponpes Husnul Khotimah meninggal. Ke-dua korban berhasil dievakuasi satu bulan sejak laporan dari kedua orangtua korban. Belum lagi korban asal Jatibarang sebanyak enam orang dan Karawang tercatat sebanyak sembilan pendaki yang berhasil mencapai puncak namun harus terbentur di kawah Ciremai, hingga tewas.
Dari sekian korban, ada dua pendaki yang menghilang hingga 13 hari 13 malam dan disembunyikan makhluk halus. Sri dan Yansen, siswi SMU Tanjung Priok Jakarta berhasil memasuki alam lain pada tahun 1986. Mereka tersesat di Cadasngampar ketika perjalanan mendaki bersama rombongan. Ketika ditemukan, menurut Aruman, dalam keadaan selamat dan sehat, walaupun hanya berbekal sepotong roti dan tanpa air.
Menurut cerita, ketika kehilangan jejak, kedua remaja itu tiba-tiba berada di hutan yang banyak penduduk seperti layaknya disebuah pedesaan. Untungnya suasana itu menjadi buyar ketika ada suara tim SAR memanggil. Ke-dua pelajar langsung menyahut dan sadar selama beberapa hari itu. Sejak itu, setiap ada pendatang yang mendaki, Aruman selalu mengingatkan untuk berhati-hati dan beretika…’Memang apa susahnya Kita beretika?’.
Wallahu’alam . (Nunung Khazanah)*

Selasa, 08 Mei 2012

BUAYA MUARA


Buaya muara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
Buaya muara atau buaya bekatak (Crocodylus porosus) adalah sejenis buaya yang terutama hidup di sungai-sungai dan di laut dekat muara. Daerah penyebarannya dapat ditemukan di seluruh perairan Indonesia. Moncong spesies ini cukup lebar dan tidak punya sisik lebar pada tengkuknya. Sedang panjang tubuh termasuk ekor bisa mencapai 12 meter seperti yang pernah ditemukan di Sangatta, Kalimantan Timur.
Buaya muara dikenal sebagai buaya terbesar di dunia, jauh lebih besar dari Buaya Nil (Crocodylus niloticus) dan Alligator Amerika (Alligator mississipiensis). Penyebarannya pun juga "terluas" di dunia; buaya muara memiliki wilayah perantauan mulai dari perairan Teluk Benggala (Sri Lanka, Bangladesh, India) hingga perairan Polinesia (Kepulauan Fiji dan Vanuatu). Sedangkan habitat favorit untuk mereka adalah perairan Indonesia dan Australia.
Buaya muara mampu melompat keluar dari air untuk menyerang mangsanya. Bahkan bilamana kedalaman air melebihi panjang tubuhnya, buaya muara mampu melompat serta menerkam secara vertikal mencapai ketinggian yang sama dengan panjang tubuhnya. Buaya muara menyukai air payau/asin, oleh sebab itu pula bangsa Australia menamakannya saltwater crocodile (buaya air asin).Selain terbesar dan terpanjang, Buaya Muara terkenal juga sebagai jenis buaya terganas di dunia.