"SELAMAT DATANG DI BLOG EKOGEO"(Pendidikan, Geografi dan Lingkungan)

Rabu, 27 Juli 2011

SAPI : MAMALIA YANG DITERNAKAN

 
 Induk Sapi dan Anaknya
    Sapi merupakan kelompok herbivora pemamah biak dari genus Bos yang berkaki empat, bertanduk besar dan berongga, serta berkuku genap. Anggota suku Bovidae ini mencakup sapi piaraan, yak dan banteng. Sapi telah didomestikasi atau dijinakkan oleh manusia sejak  8.500 tahun yang lalu. Dua spesies sapi piaraan yaitu Bos taurus dan Bos indicus telah diternakan secara luas di berbagai negara.

 Sapi Bali
    Sebagai ruminansia (hewan pemamah biak) lambung sapi terdiri dari empat bagian yaitu rumen, retikulorumen, omasum, dan abomasum. Pakan yang telah dikunyah akan dicampur dengan air liur dan kemudian ditelan kedalam rumen. Di dalam rumen pakan dicerna dengan bantuan bakteri. Pakan selanjutnya masuk ke dalam retikulorumen untuk dilembutkan dan dibentuk menjadi pelet. Setelah selesai merumput atau makan, sapi mengunyah kembali pelet di dalam mulutnya. Setelah satu jam, pelet tersebut masuk ke dalam omasum dan abomasum.


Sapi Madura
Sapi Potong
    Berdasarkan produk yang dihasilkannya, sapi digolongkan dalam dua jenis yaitu sapi potong dan sapi perah. Sapi potong di Indonesia umumnya terdiri dari sapi lokal, sapi hasil persilangan, dan sapi impor. Varietas sapi potong tersebut antara lain sapi bali, sapi madura, sapi ongole, sapi peranakan ongole (PO), sapi aberdeen angus, sapi simmental, dan sapi brahman. Sapi bali merupakan sapi lokal yang berasal dari domestikasi banteng (Bos javanicus). 
Sapi Aberdeen Angus
   Sapi madura merupakan hasil persilangan antara sapi zebu (Bos indicus) dan banteng. Sapi ongole merupakan keturunan sapi zabu di India, sedangkan sapi peranakan ongole (PO) merupakan hasil persilangan antara sapi lokal dan sapi ongole. Adapun sapi aberdeen angus, sapi simmental, dan sapi brahman merupakan sapi impor yang bersal dari Skotlandia, Swiss dan India.

Sapi Frieland holand, Belanda
Sapi Perah
    Pada umumnya sapi perah digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu sapi subtropika dan sapi tropika. Sapi subtropika meliputi varietas sapi fries holland atau frisian holstein (FH) dari Belanda, sapi jersey dan sapi guetnsey dari Inggris, sapi ayrshire dari Skotlandia dan sapi brown Swiss dari Swiss. Sapi tropika meliputi varietas sapi sahiwal, sapi gir, sapi hariana, sapi tharparker dan sapi red sindhi dari India serta peranakan friesian holstein (PFH) atau sapi grati. Sapi PFH atau sapi grati merupakan persilangan antara sapi lokal Indonesia dan sapi FH.`

Sapi Ongole dari India
Produk Olahan Susu
    Sapi memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena hampir semua bagian tubuhnya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Daging dan susu sapi merupakan bahan makanan yang kaya lemak, protein, karbohidrat dan air. Daging sapi dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, sedangkan susu sapi diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti keju, es krim, mentega, dan yoghurt. Kulit, tulang, dan tanduk sapi umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri tas, sepatu, dan kerajinan tangan. Kotoran sapi dimanfaatkan sebagai pupuk kandang, sedangkan tenaganya digunakan untuk menarik gerobak dan membajak lahan, bahkan diperlombakan dalam sebuah festival misalnya karapan sapi di Madura, Jawa Timur.
Sapi Yak dari Himalaya
Yak
    Salah satu spesies sapi yang hidup di pegunungan Himalaya adalah Yak (Bos grunnies). Yak hidup di daerah berketinggian 3.200-5.400 m di atas permukaan laut. Hewan ini mampu beradaptasi dengan temperatur udara dibawah 0oC karena memiliki bulu yang tebal. Selain dikonsumsi dagingnya, penduduk setempat memanfaatkan yak untuk menggarap lahan pertanian serta mengangkut barang dan manusia.

Rabu, 20 Juli 2011

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

 
 Alam semesta diciptakan
 Asal mula alam semesta digambarkan dalam Al Qur'an pada ayat berikut :

" Dialah pencipta langit dan bumi " (Al Qur'an, 6:101)


    Keterangan yang diberikan Al Qur'an ini bersesuaian dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang terjadi dalam sekejap. 
Big Bang

    Peristiwa ini, yang dikenal dengan "Big Bang", membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Big Bang Teori


    Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut materi. Dari kondisi ketiadaan, dimana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam Al Qur'an sejak 1.400 tahun lalu.
Big Bang menurut Al Qur'an
    Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Bing Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan.
Proses terciptanya alam semesta

Sabtu, 16 Juli 2011

JENIS-JENIS ULAR DARI SUKU PYTHONIDAE DI INDONESIA

1. Ular Puraca
  Puraca, atau peraca (Python breitensteini) adalah sejenis ular tak berbisa sebangsa sanca (suku Pythonidae) yang hidup endemik di Pulau Kalimantan. Nama-nama lainnya, di antaranya, ular sanca pendek, ular sanca gendang, atau ular gendang saja. Orang Dayak Iban dan beberapa suku lain yang berkerabat menyebutnya sebagai ular ripung, ripong, lipung, lepung, lepong, depung dan panggilan-panggilan yang serupa. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan sebutan Bornean short python, Borneo short-tailed python, atau Borneo python. Sebelumnya ular ini dianggap sebagai salah satu dari tiga anak jenis Python curtus; akan tetapi kini ketiga-tiganya telah dianggap sebagai spesies yang berlainan.

  Python breitensteini berkerabat erat dengan P. curtus. Kedua spesies ini dibedakan dari P. brongersmai melalui perisai ventralnya yang berjumlah kurang dari 166 buah (P. brongersmai ≥ 167); perisai supralabialnya yang tidak bersinggungan dengan sisi bawah perisai mata (diantarai oleh sisik-sisik subokular; sementara pada P. brongersmai perisai mata bersentuhan dengan beberapa perisai bibir atasnya); serta perisai supraokularnya yang hanya satu buah (P. brongersmai: (1-)2 supraokular).
Meskipun kajian DNA mitokondria menunjukkan perbedaan genetik yang signifikan pada kedua taksa, secara fisik hanya sedikit perbedaan yang dapat diamati antara ular puraca dengan ular dipong. Pada kebanyakan kasus, P. breitensteini dapat dibedakan karena memiliki garis perlekatan perisai parietal pertama (terdepan, kanan dan kiri) yang lebar di tengah kepala, sementara pada P. curtus garis persinggungan ini tidak ada (parietal pertama kanan dan kiri tidak bersentuhan) atau hanya sempit saja. Dari segi warna, P. curtus dewasa selalu mengalami melanisme, yakni menjadi kehitaman; sementara P. breitensteini jarang mengalaminya. Warna-warna terang di tubuh P. breitensteini khas kuning pucat atau cokelat samak (tan, cokelat pucat kemerahan); sementara pada P. curtus cenderung putih atau keabu-abuan. Dasar cekungan (fundus) dekik penghidu bahang pada perisai rostral dan dua perisai supralabial yang terdepan milik P. breitensteini tidak berpigmen; pada P. curtus dasar cekungan ini berpigmen gelap.

Diskripsi Umum
  Ular yang bertubuh pendek gemuk; panjang tubuh keseluruhan mencapai --namun jarang-jarang-- lebih sedikit dari 2 m, dengan ekor sekitar 10% dari panjang total. Kepalanya kecil dan sedikit memipih, sebagaimana lazimnya sanca. Matanya kecil dengan pupil vertikal. Memiliki dekik-dekik yang peka bahang di moncongnya (pada perisai rostral, dua perisai supralabial (bibir atas) yang terdepan, dan berupa celah pada perisai-perisai bibir bawah di bawah dan di belakang mata).
  Perisai rostral lebih lebar daripada tinggi; dengan dua dekik, di pinggir kanan dan kiri. Perisai supralabial 9-11, dua yang pertama dengan dekik peka bahang. Perisai loreal (pipi) besar, perisai postokular 1-4. Sisik-sisik dorsal dalam 53-57 deret di tengah badan; sisik-sisik ventral antara 154-165 buah; sisik anal tunggal; sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 27-33 pasang.
  Pola pewarnaan mirip dengan ular bakas; akan tetapi dengan warna dasar cokelat hingga cokelat gelap, divariasikan dengan bercak-bercak berwarna cokelat samak dan atau kuning pucat.

Penyebaran dan ekologi
   P. breitensteini menyebar terbatas (endemik) di Pulau Kalimantan; termasuk di wilayah Brunei, Sabah, dan Sarawak. Ular puraca cenderung pemalu, dan istimewanya hidup di habitat yang basah, baik di hutan maupun di lahan pertanian. Reptil ini terutama menghuni hutan hujan dataran rendah; tinggal di tepian badan-badan air seperti sungai yang mengalir lambat, rawa, dan paya-paya, untuk mengintai mamalia dan burung yang menjadi mangsanya. Meskipun demikian, puraca juga sering ditemukan di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, termasuk kebun-kebun kelapa sawit, kelapa, dan kakao; ular ini belum pernah ditemui di atas ketinggian 1.000 m dpl. Meskipun puraca tampak lamban dalam gerak-geriknya, namun ular ini dapat bergerak cepat bila menyerang mangsa.

Manfaat
  Ular puraca banyak diburu orang. Ular-ular yang muda diperdagangkan sebagai hewan timangan. Kulitnya berkualitas baik dan berharga tinggi, sehingga ular ini acap ditangkapi untuk diambil kulitnya. Orang-orang tertentu juga menggemari dagingnya; di perkebunan-perkebunan kelapa sawit ular ini biasa dikenal sebagai 'ular sayur'. Bahkan di Sintang, ada warung makan yang menjual masakan ular ripung ini. Dengan mangsa utamanya berupa hewan pengerat, ular puraca juga berfungsi sebagai pengendali hama di perkebunan kelapa sawit.

2. Ular Sanca Bodo
  Sanca bodo (Python bivittatus) adalah sejenis ular besar dari suku Pythonidae. Awalnya, ular ini adalah anak jenis dari Python molurus (Sanca India). Namun sekarang, dijadikan spesies tersendiri. Nama umum ular ini adalah sanca bodo, sanca myanmar, ula sawa bodo, dan sebagainya; nama umumnya dalam Inggris adalah Burmese python, South-east Asian rock python, atau Tiger python. Ular ini tersebar di beberapa daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara.

Diskripsi Umum
  Tubuh berukuran besar. Panjangnya antara 3 sampai 6 meter, namun seringnya hanya sampai 5 meter. Berat tubuh sampai 160 kg. Mempunyai warna dasar coklat muda dengan bercak-bercak berpentuk tidak beraturan berwarna coklat tua, ada pula yang berwarna dasar kuning, karamel, atau krem, dengan bercak-bercak kuning pekat, cokelat, atau oranye. Corak yang hampir sama dengan kerabat dekatnya, yakni Sanca India (Python molurus). Namun sanca bodo dibedakan karena adanya corak berbentuk huruf "V" berwarna kuning pucat atau putih di atas kepalanya.

Kebiasaan
Sanca bodo mendiami hutan tropis atau hutan musim yang lembab. Biasanya ditemukan tidak jauh dari air atau tempat lembab bahkan kadang di dekat pemukiman. Ular sanca bodo umumnya beraktivitas di tanah dan/atau di dalam air, tetapi ular ini kerap memanjat pohon untuk berburu atau berjemur. Ular ini memangsa hewan-hewan berukuran sedang hingga besar, mangsa ular ini umumnya kadal, tikus, burung, ayam hutan, musang, kera, bajing, rusa, dan kijang. Bahkan pernah dilaporkan dari Myanmar bahwa ada spesimen yang ditemukan sedang berjemur dan baru saja menelan seekor macan tutul.

Reproduksi
Sanca bodo berkembang biak bertelur (ovipar). Jumlahnya dapat mencapai 40 butir bahkan lebih. Telur-telur tersebut akan menetas setelah dierami selama 60-80 hari. Panjang anak yang baru menetas tersebut berkisar antara 60-70 cm.

Penyebaran alami sanca bodo
Tersebar di India timur laut (Benggala utara), Nepal tenggara, Bhutan, Cina selatan, dan Asia Tenggara: Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia, ular ini hanya terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi Selatan.
Populasi invasif

Dalam beberapa dekade terakhir, ular ini dikabarkan juga menjadi penghuni liar di Taman Nasional Everglades, Florida, AS. Statusnya disana adalah spesies invasif akibat para pemeliharanya melepaskan ular ini begitu saja ke alam liar. Ular ini juga merusak dan mengganti rantai makanan di Florida dan menjadi pemangsa teratas (konsumen puncak).

Anak jenis
Ada dua anak jenis sanca bodo, yakni:
  • P. b. bivittatus KUHL, 1820; menyebar di India timur laut (Benggala utara), Nepal tenggara, Bhutan, Cina selatan, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, lalu di Indonesia hanya terdapat di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa.
  • P. b. progschai JACOBS, AULYIA & BÖHME, 2009; menyebar terbatas di Indonesia dan hanya terdapat di Sulawesi Selatan.

Populasi
Populasi ular ini sudah mulai langka, baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia sehingga IUCN sepakat melabeli statusnya menjadi “Vulnerable” (Berisiko).

3. Ular Sanca Kembang
Sanca kembang atau sanca batik adalah sejenis ular dari suku Pythonidae yang berukuran besar dan memiliki ukuran tubuh terpanjang di antara ular lain. Ukuran terbesarnya dikatakan dapat melebihi 8.5 meter dan merupakan ular terpanjang di dunia. Lebih panjang dari anakonda (Eunectes), ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah; sawah-n-etem (Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated python atau kerap disingkat retics. Sedangkan nama ilmiahnya yang sebelumnya adalah Python reticulatus, kini diubah genusnya menjadi Malayopython reticulatus.

Diskripsi Umum
  Sanca kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di Indonesia barat, ada tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P. brongersmai dan P. breitensteini) di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
  Dua spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal berotot: P. molurus (sanca bodo) dan M. reticulatus. Kedua-duanya menyebar dari Asia hingga Sunda Besar, termasuk Jawa. P. molurus memiliki pola kembangan yang berbeda dari reticulatus, terutama dengan adanya pola V besar berwarna gelap di atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola lingkaran-lingkaran besar berbentuk jala (reticula, jala), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
  Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus; sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik di ujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk (celah) pendeteksi panas (heat sensor pits) (Tweedie 1983).

Biologi dan persebaran
  Sanca kembang terhitung ular terpanjang di dunia. Ular terpanjang yang terkonfirmasi berukuran 6.95 m di Balikpapan, Kalimantan Timur sedangkan berat maksimal yang tercatat adalah 158 kg (347.6 lbs). Ular sanca termasuk ular yang berumur panjang, hingga lebih dari 25 tahun. Ular-ular betina memiliki tubuh yang lebih besar. Jika yang jantan telah mulai kawin pada panjang tubuh sekitar 7-9 kaki, yang betina baru pada panjang sekitar 11 kaki. Dewasa kelamin tercapai pada umur antara 2-4 tahun.
  Musim kawin berlangsung antara September hingga Maret di Asia. Berkurangnya panjang siang hari dan menurunnya suhu udara merupakan faktor pendorong yang merangsang musim kawin. Namun, musim ini dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Shine et al. 1999 mendapatkan bahwa sanca kembang di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, bertelur antara September-Oktober; sementara di sekitar Medan, Sumatera Utara antara bulan April-Mei. Jantan maupun betina akan berpuasa di musim kawin, sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas (McCurley 1999). 
  Sanca kembang bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telur ini ‘dierami’ pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90 hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Betina akan menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya sampai itu saja; begitu menetas, bayi-bayi ular itu ditinggalkan dan nasibnya diserahkan ke alam.
  Sanca kembang menyebar di hutan-hutan Asia Tenggara. Mulai dari Kep. Nikobar, Burma hingga ke Indochina; ke selatan melewati Semenanjung Malaya hingga ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara (hingga Timor), Sulawesi; dan ke utara hingga Filipina (Murphy and Henderson 1997). 
  Sanca kembang memiliki tiga subspesies. Selain M.r. reticulatus yang hidup menyebar luas, dua lagi adalah M.r. jampeanus yang menyebar terbatas di Pulau Tanah Jampea dan M.r. saputrai yang menyebar terbatas di Kepulauan Selayar. Kedua-duanya di lepas pantai selatan Sulawesi Selatan.

Ekologi
  Sanca kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembap (Mattison, 1999). Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa. 
Makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan reptilia lain seperti biawak. Ular yang kecil memangsa kodok, kadal dan ikan. Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa (Mattison 1999, Murphy and Henderson 1997, Shine et al. 1999). Ular ini lebih senang menunggu daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang besar menghabiskan banyak energi. 
  Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan bulat-bulat mulai dari kepalanya. Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia lapar kembali. Seekor sanca yang dipelihara di Regent’s Park pada tahun 1926 menolak untuk makan selama 23 bulan, namun setelah itu ia normal kembali (Murphy and Henderson 1997).

Taksonomi
Penelitian Filogenetik terbaru mendapatkan hasil yang sangat mencengangkan, bahwa Ular Sanca Kembang dan Ular Sanca Timor ternyata lebih dekat dengan Australasian Python dibanding dengan genus Sanca sejati yang lain.Sehingga Ular Sanca Kembang dan Ular Sanca Timor dimasukkan dalam genus baru, yaitu Broghammerus. Namun, pada tahun 2013-2014, para ilmuwan melakukan studi DNA lagi sampai akhirnya kedua ular ini dimasukkan dalam genus baru lagi, yakni Malayopython.

Sanca dan Manusia
  Sanca --terutama yang kecil-- kerap dipelihara orang karena relatif jinak dan indah kulitnya. Pertunjukan rakyat, seperti topeng monyet, seringkali membawa seekor sanca kembang yang telah jinak untuk dipamerkan. Sirkus lokal juga kadang-kadang membawa sanca berukuran besar untuk dipamerkan atau disewakan untuk diambil fotonya. 
  Sanca banyak diburu orang untuk diambil kulitnya yang indah dan bermutu baik. Lebih dari 500.000 potong kulit sanca kembang diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar kulit-kulit ini diekspor dari Indonesia, dengan sumber utama Sumatera dan Kalimantan. Semua adalah hasil tangkapan di alam liar. 
  Jelas perburuan sanca ini sangat mengkhawatirkan karena mengurangi populasinya di alam. Catatan dari penangkapan ular komersial di Sumatera mendapatkan bahwa sanca kembang yang ditangkap ukurannya bervariasi antara 1 m hingga 6 m, dengan rata-rata ukuran untuk jantan 2.5 m dan betina antara 3.1 m (Medan) – 3.6 m (Palembang). Kira-kira sepertiga dari betina tertangkap dalam keadaan reproduktif (Shine et al. 1999). Hingga saat ini, ular ini belum dilindungi undang-undang. CITES (konvensi perdagangan hidupan liar yang terancam) memasukkannya ke dalam Apendiks II.

4. Ular Sanca Hijau
Sanca hijau adalah sejenis ular Sanca pohon yang ditemukan di Pulau Papua beserta kepulauan sekitarnya dan Semenanjung Tanjung York di Australia.
Deskripsi Umum
   Sanca hijau dicirikan dengan tubuhnya yang relatif langsing. Ekornya yang relatif panjang terhitung sekitar 14% dari panjang total hewan ini. Kepala hewan ini besar dan bisa dengan jelas dibedakan dari lehernya. Hewan ini memiliki moncong yang besar dan lancip. Penampang tubuh hewan ini berbentuk segitiga dengan tulang belakang yang menonjol. Hewan ini biasanya mencapai panjang total 1,5-1,8 meter (4,9-5,9 kaki) namun betina berukuran besar panjangnya bisa mencapai 2 m (6,6 ft). Ukuran hewan ini juga bervariasi berdasarkan daerah asalnya. Berat hewan ini sangat bergantung pada status nutrisinya. Jantan bisa mencapai berat sekitar 1,1-1,4 kg (2,4-3,1 pon), sementara betina bisa mencapai 16 kg (35 lb). Spesimen yang lebih besar dari biasanya seberat 22 kg (49 lb) merupakan betina, sebagaimana kebanyakan ular lainnya dimana ukuran betina sedikit lebih besar dan berat daripada jantan. Seekor sanca hijau berbintik sedang beristirahat; menunjukkan moncong lancipnya yang khas.

Habitat
Habitat utama hewan ini adalah hutan hujan, semak belukar dan pepohonan. Ancaman terbesar terhadap hewan ini adalah kehancuran habitat dikarenakan penebangan hutan. Disamping itu corak dan keindahan warna kulit Ular ini juga banyak menarik para pemburu untuk menangkap dan membunuhnya untuk diambil kulitnya, sehingga dikuatirkan populasi Ular Sanca Hijau semakin menyusut di alam bebas. Namun UICN belum memasukkan satwa eksotis ini dalam kelompok hewan yang dilindungi karena jumlahnya masih cukup berlimpah terutama di hutan-hutan Papua Indonesia, Pulau Biak, Pulau Yapen dan sekitarnya, Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Aru, Maluku Utara dan Semenanjung York di Australia.

Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia

Selasa, 12 Juli 2011

FUNGSI GUNUNG MENURUT ALQUR'AN

Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung.

"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi.
 Letusan Gunung berapi berdampak pada kesuburan tanah
Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.

Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.
G.Merapi mengeluarkan asap dan abu letusan

Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:

Pada bagian benua yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)

Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan sebagai "pasak":

"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?" (Al Qur'an, 78:6-7)

Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.

G.Everest, tertinggi di dunia
Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi". Isostasi bermakna sebagai berikut:

Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York, s. 975)

Peran penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah.

"Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)

Sumber : Harun Yahya : Keajaiban Al Qur'an

SIPUT : KELOMPOK INVERTEBRATA DI PERAIRAN TAWAR DAN LAUT

   
    Siput merupakan istilah umum untuk menyebut kelompok hewan invertebrata dari kelas Gastropoda yang berkaki lebar dan pipih sehingga membentuk kaki perut. Anggota terbesar moluska (filum Mollusca) ini hidup di daratan dan di perairan baik perairan tawar maupun laut. Selain bermanfaat sebagai sumber makanan dan dekomposer (pengurai), siput juga dapat merugikan manusia karena merusak tanaman pertanian dan menjadi perantara penyakit.

 Siput Laut
     Pada umumnya, siput laut seperti Strombus gigas dan Haliotis refescens (abalon merah) banyak dijumpai di daerah tropis terutama di habitat terumbu karang. Siput air tawar seperti Littorina litorea dan Lymnea javanica (siput atau keong sawah) menghuni habitat kolam, sungai, rawa, dan danau. Adapun siput darat seperti Achatina fulica (bekicot) dan Hellicina orbiculata hidup di daerah tropis dan daerah sub tropis.


Siput daun Gastropoda
Rotasi Tubuh
    Pada awalnya, siput memiliki tubuh bilateral simetri. Akan tetapi hewan ini berubah menjadi asimetri akibat adanya rotasi tubuh sebesar 180o. Rotasi tersebut menyebabkan bagian anus berbelok ke arah kepala, sedangkan kakinya tetap di tempat. Kepala siput dilengkapi dengan sepasang tentakel pendek yang berfungsi sebagai alat pembau dan peraba serta sepasang tentakel panjang yang berfungsi sebagai alat penglihat.
Keong Sawah
Epifragma
    Selain berfungsi sebagai pelindung organ visera (organ dalam) cangkang siput yang berbentuk spiral juga berguna untuk menghindari kekringan tubuh. Beberapa jenis siput mempunyai epifragma atau penutup lubang cangkang yang terdapat di bagian kaki. Lubang ini akan tertutup rapat bila siput menarik dirinya ke dalam cangkang. Pada saat bergerak, hewan ini mengerutkan kakinya dan membentuk gerakan bergelombang dari belakang ke depan. Siput kemudian merayap sambil mengikuti jejak lendir yang dikeluarkan oleh kelenjar mukosa di bagian depan kakinya.

Bekicot
Radula
    Siput air bernapas dengan dua buah insang yang terletak di dalam rongga mantel. Pada siput darat, bagian insang menjadi hilang atau mereduksi sehingga hewan ini bernapas dengan paru-paru. Siput darat umumnya merupakan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Kelompok hewan in mengerat tumbuh-tumbuhan dengan lidah perut atau radula. Beberapa jenis siput laut bersifat karnivora. Kelompok hewan ini memangsa cacing atau siput lain. Oleh sebab itu, radula dari siput laut termodifikasi untuk menggigit, mencengkram, mengoyak dan memotong makanan.

Bekicot Hijau
Ovotestis
    Sebagian besar siput memiliki kelamin ganda atau bersifat hermafrodit, sedangkan sebagian yang lain memiliki kelamin tunggal. Meskipun bersifat hermafrodit, siput yang berkelamin ganda melakukan kopulasi atau perkawinan denagn individu lain, bukan dengan dirinya sendiri. Sel telur dan spermatozoa dihasilkan oleh satu organ yang disebut ovotestis. Proses pembuahan atau fertilisasi terjadi di dalam tubuh salah satu individu yang bertindak sebagai betina. Proses tersebut menghasilkan telur yang akan dilepaskan ke luar tubuh betina.

Hidangan dari keong sawah yang mengundang selera

Sumber : Ensiklopedi Umum Untuk Pelajar