1. Ular Puraca
Puraca, atau peraca (Python breitensteini) adalah sejenis ular tak berbisa sebangsa sanca (suku Pythonidae) yang hidup endemik di Pulau Kalimantan. Nama-nama lainnya, di antaranya, ular sanca pendek, ular sanca gendang, atau ular gendang saja. Orang Dayak Iban dan beberapa suku lain yang berkerabat menyebutnya sebagai ular ripung, ripong, lipung, lepung, lepong, depung dan panggilan-panggilan yang serupa. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan sebutan Bornean short python, Borneo short-tailed python, atau Borneo python. Sebelumnya ular ini dianggap sebagai salah satu dari tiga anak jenis Python curtus; akan tetapi kini ketiga-tiganya telah dianggap sebagai spesies yang berlainan.
Python breitensteini berkerabat erat dengan P. curtus. Kedua spesies ini dibedakan dari P. brongersmai melalui perisai ventralnya yang berjumlah kurang dari 166 buah (P. brongersmai ≥ 167); perisai supralabialnya yang tidak bersinggungan dengan sisi bawah perisai mata (diantarai oleh sisik-sisik subokular; sementara pada P. brongersmai perisai mata bersentuhan dengan beberapa perisai bibir atasnya); serta perisai supraokularnya yang hanya satu buah (P. brongersmai: (1-)2 supraokular).
Meskipun kajian DNA mitokondria menunjukkan perbedaan genetik yang signifikan pada kedua taksa, secara fisik hanya sedikit perbedaan yang dapat diamati antara ular puraca dengan ular dipong. Pada kebanyakan kasus, P. breitensteini dapat dibedakan karena memiliki garis perlekatan perisai parietal pertama (terdepan, kanan dan kiri) yang lebar di tengah kepala, sementara pada P. curtus garis persinggungan ini tidak ada (parietal pertama kanan dan kiri tidak bersentuhan) atau hanya sempit saja. Dari segi warna, P. curtus dewasa selalu mengalami melanisme, yakni menjadi kehitaman; sementara P. breitensteini jarang mengalaminya. Warna-warna terang di tubuh P. breitensteini khas kuning pucat atau cokelat samak (tan, cokelat pucat kemerahan); sementara pada P. curtus cenderung putih atau keabu-abuan. Dasar cekungan (fundus) dekik penghidu bahang pada perisai rostral dan dua perisai supralabial yang terdepan milik P. breitensteini tidak berpigmen; pada P. curtus dasar cekungan ini berpigmen gelap.
Diskripsi Umum
Ular yang bertubuh pendek gemuk; panjang tubuh keseluruhan mencapai --namun jarang-jarang-- lebih sedikit dari 2 m, dengan ekor sekitar 10% dari panjang total. Kepalanya kecil dan sedikit memipih, sebagaimana lazimnya sanca. Matanya kecil dengan pupil vertikal. Memiliki dekik-dekik yang peka bahang di moncongnya (pada perisai rostral, dua perisai supralabial (bibir atas) yang terdepan, dan berupa celah pada perisai-perisai bibir bawah di bawah dan di belakang mata).
Perisai rostral lebih lebar daripada tinggi; dengan dua dekik, di pinggir kanan dan kiri. Perisai supralabial 9-11, dua yang pertama dengan dekik peka bahang. Perisai loreal (pipi) besar, perisai postokular 1-4. Sisik-sisik dorsal dalam 53-57 deret di tengah badan; sisik-sisik ventral antara 154-165 buah; sisik anal tunggal; sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 27-33 pasang.
Pola pewarnaan mirip dengan ular bakas; akan tetapi dengan warna dasar cokelat hingga cokelat gelap, divariasikan dengan bercak-bercak berwarna cokelat samak dan atau kuning pucat.
Penyebaran dan ekologi
P. breitensteini menyebar terbatas (endemik) di Pulau Kalimantan; termasuk di wilayah Brunei, Sabah, dan Sarawak. Ular puraca cenderung pemalu, dan istimewanya hidup di habitat yang basah, baik di hutan maupun di lahan pertanian. Reptil ini terutama menghuni hutan hujan dataran rendah; tinggal di tepian badan-badan air seperti sungai yang mengalir lambat, rawa, dan paya-paya, untuk mengintai mamalia dan burung yang menjadi mangsanya. Meskipun demikian, puraca juga sering ditemukan di lahan-lahan pertanian dan perkebunan, termasuk kebun-kebun kelapa sawit, kelapa, dan kakao; ular ini belum pernah ditemui di atas ketinggian 1.000 m dpl. Meskipun puraca tampak lamban dalam gerak-geriknya, namun ular ini dapat bergerak cepat bila menyerang mangsa.
Manfaat
Ular puraca banyak diburu orang. Ular-ular yang muda diperdagangkan sebagai hewan timangan. Kulitnya berkualitas baik dan berharga tinggi, sehingga ular ini acap ditangkapi untuk diambil kulitnya. Orang-orang tertentu juga menggemari dagingnya; di perkebunan-perkebunan kelapa sawit ular ini biasa dikenal sebagai 'ular sayur'. Bahkan di Sintang, ada warung makan yang menjual masakan ular ripung ini. Dengan mangsa utamanya berupa hewan pengerat, ular puraca juga berfungsi sebagai pengendali hama di perkebunan kelapa sawit.
2. Ular Sanca Bodo
Sanca bodo (Python bivittatus) adalah sejenis ular besar dari suku Pythonidae. Awalnya, ular ini adalah anak jenis dari Python molurus (Sanca India). Namun sekarang, dijadikan spesies tersendiri. Nama umum ular ini adalah sanca bodo, sanca myanmar, ula sawa bodo, dan sebagainya; nama umumnya dalam Inggris adalah Burmese python, South-east Asian rock python, atau Tiger python. Ular ini tersebar di beberapa daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara.
Diskripsi Umum
Tubuh berukuran besar. Panjangnya antara 3 sampai 6 meter, namun seringnya hanya sampai 5 meter. Berat tubuh sampai 160 kg. Mempunyai warna dasar coklat muda dengan bercak-bercak berpentuk tidak beraturan berwarna coklat tua, ada pula yang berwarna dasar kuning, karamel, atau krem, dengan bercak-bercak kuning pekat, cokelat, atau oranye. Corak yang hampir sama dengan kerabat dekatnya, yakni Sanca India (Python molurus). Namun sanca bodo dibedakan karena adanya corak berbentuk huruf "V" berwarna kuning pucat atau putih di atas kepalanya.
Kebiasaan
Sanca bodo mendiami hutan tropis atau hutan musim yang lembab. Biasanya ditemukan tidak jauh dari air atau tempat lembab bahkan kadang di dekat pemukiman. Ular sanca bodo umumnya beraktivitas di tanah dan/atau di dalam air, tetapi ular ini kerap memanjat pohon untuk berburu atau berjemur. Ular ini memangsa hewan-hewan berukuran sedang hingga besar, mangsa ular ini umumnya kadal, tikus, burung, ayam hutan, musang, kera, bajing, rusa, dan kijang. Bahkan pernah dilaporkan dari Myanmar bahwa ada spesimen yang ditemukan sedang berjemur dan baru saja menelan seekor macan tutul.
Reproduksi
Sanca bodo berkembang biak bertelur (ovipar). Jumlahnya dapat mencapai 40 butir bahkan lebih. Telur-telur tersebut akan menetas setelah dierami selama 60-80 hari. Panjang anak yang baru menetas tersebut berkisar antara 60-70 cm.
Penyebaran alami sanca bodo
Tersebar di India timur laut (Benggala utara), Nepal tenggara, Bhutan, Cina selatan, dan Asia Tenggara: Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia, ular ini hanya terdapat di Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, dan Sulawesi Selatan.
Populasi invasif
Dalam beberapa dekade terakhir, ular ini dikabarkan juga menjadi penghuni liar di Taman Nasional Everglades, Florida, AS. Statusnya disana adalah spesies invasif akibat para pemeliharanya melepaskan ular ini begitu saja ke alam liar. Ular ini juga merusak dan mengganti rantai makanan di Florida dan menjadi pemangsa teratas (konsumen puncak).
Anak jenis
Ada dua anak jenis sanca bodo, yakni:
- P. b. bivittatus KUHL, 1820; menyebar di India timur laut (Benggala utara), Nepal tenggara, Bhutan, Cina selatan, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, lalu di Indonesia hanya terdapat di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa.
- P. b. progschai JACOBS, AULYIA & BÖHME, 2009; menyebar terbatas di Indonesia dan hanya terdapat di Sulawesi Selatan.
Populasi
Populasi ular ini sudah mulai langka, baik di Asia Tenggara maupun di Indonesia sehingga IUCN sepakat melabeli statusnya menjadi “Vulnerable” (Berisiko).
3. Ular Sanca Kembang
Sanca kembang atau sanca batik adalah sejenis ular dari suku Pythonidae yang berukuran besar dan memiliki ukuran tubuh terpanjang di antara ular lain. Ukuran terbesarnya dikatakan dapat melebihi 8.5 meter dan merupakan ular terpanjang di dunia. Lebih panjang dari anakonda (Eunectes), ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah; sawah-n-etem (Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated python atau kerap disingkat retics. Sedangkan nama ilmiahnya yang sebelumnya adalah Python reticulatus, kini diubah genusnya menjadi Malayopython reticulatus.
Diskripsi Umum
Sanca kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di Indonesia barat, ada tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P. brongersmai dan P. breitensteini) di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
Dua spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal berotot: P. molurus (sanca bodo) dan M. reticulatus. Kedua-duanya menyebar dari Asia hingga Sunda Besar, termasuk Jawa. P. molurus memiliki pola kembangan yang berbeda dari reticulatus, terutama dengan adanya pola V besar berwarna gelap di atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola lingkaran-lingkaran besar berbentuk jala (reticula, jala), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus; sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik di ujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk (celah) pendeteksi panas (heat sensor pits) (Tweedie 1983).
Biologi dan persebaran
Sanca kembang terhitung ular terpanjang di dunia. Ular terpanjang yang terkonfirmasi berukuran 6.95 m di Balikpapan, Kalimantan Timur sedangkan berat maksimal yang tercatat adalah 158 kg (347.6 lbs). Ular sanca termasuk ular yang berumur panjang, hingga lebih dari 25 tahun. Ular-ular betina memiliki tubuh yang lebih besar. Jika yang jantan telah mulai kawin pada panjang tubuh sekitar 7-9 kaki, yang betina baru pada panjang sekitar 11 kaki. Dewasa kelamin tercapai pada umur antara 2-4 tahun.
Musim kawin berlangsung antara September hingga Maret di Asia. Berkurangnya panjang siang hari dan menurunnya suhu udara merupakan faktor pendorong yang merangsang musim kawin. Namun, musim ini dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Shine et al. 1999 mendapatkan bahwa sanca kembang di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, bertelur antara September-Oktober; sementara di sekitar Medan, Sumatera Utara antara bulan April-Mei. Jantan maupun betina akan berpuasa di musim kawin, sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas (McCurley 1999).
Sanca kembang bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telur ini ‘dierami’ pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90 hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Betina akan menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya sampai itu saja; begitu menetas, bayi-bayi ular itu ditinggalkan dan nasibnya diserahkan ke alam.
Sanca kembang menyebar di hutan-hutan Asia Tenggara. Mulai dari Kep. Nikobar, Burma hingga ke Indochina; ke selatan melewati Semenanjung Malaya hingga ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara (hingga Timor), Sulawesi; dan ke utara hingga Filipina (Murphy and Henderson 1997).
Sanca kembang memiliki tiga subspesies. Selain M.r. reticulatus yang hidup menyebar luas, dua lagi adalah M.r. jampeanus yang menyebar terbatas di Pulau Tanah Jampea dan M.r. saputrai yang menyebar terbatas di Kepulauan Selayar. Kedua-duanya di lepas pantai selatan Sulawesi Selatan.
Ekologi
Sanca kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembap (Mattison, 1999). Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa.
Makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan reptilia lain seperti biawak. Ular yang kecil memangsa kodok, kadal dan ikan. Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa (Mattison 1999, Murphy and Henderson 1997, Shine et al. 1999). Ular ini lebih senang menunggu daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang besar menghabiskan banyak energi.
Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan bulat-bulat mulai dari kepalanya. Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia lapar kembali. Seekor sanca yang dipelihara di Regent’s Park pada tahun 1926 menolak untuk makan selama 23 bulan, namun setelah itu ia normal kembali (Murphy and Henderson 1997).
Taksonomi
Penelitian Filogenetik terbaru mendapatkan hasil yang sangat mencengangkan, bahwa Ular Sanca Kembang dan Ular Sanca Timor ternyata lebih dekat dengan Australasian Python dibanding dengan genus Sanca sejati yang lain.Sehingga Ular Sanca Kembang dan Ular Sanca Timor dimasukkan dalam genus baru, yaitu Broghammerus. Namun, pada tahun 2013-2014, para ilmuwan melakukan studi DNA lagi sampai akhirnya kedua ular ini dimasukkan dalam genus baru lagi, yakni Malayopython.
Sanca dan Manusia
Sanca --terutama yang kecil-- kerap dipelihara orang karena relatif jinak dan indah kulitnya. Pertunjukan rakyat, seperti topeng monyet, seringkali membawa seekor sanca kembang yang telah jinak untuk dipamerkan. Sirkus lokal juga kadang-kadang membawa sanca berukuran besar untuk dipamerkan atau disewakan untuk diambil fotonya.
Sanca banyak diburu orang untuk diambil kulitnya yang indah dan bermutu baik. Lebih dari 500.000 potong kulit sanca kembang diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar kulit-kulit ini diekspor dari Indonesia, dengan sumber utama Sumatera dan Kalimantan. Semua adalah hasil tangkapan di alam liar.
Jelas perburuan sanca ini sangat mengkhawatirkan karena mengurangi populasinya di alam. Catatan dari penangkapan ular komersial di Sumatera mendapatkan bahwa sanca kembang yang ditangkap ukurannya bervariasi antara 1 m hingga 6 m, dengan rata-rata ukuran untuk jantan 2.5 m dan betina antara 3.1 m (Medan) – 3.6 m (Palembang). Kira-kira sepertiga dari betina tertangkap dalam keadaan reproduktif (Shine et al. 1999). Hingga saat ini, ular ini belum dilindungi undang-undang. CITES (konvensi perdagangan hidupan liar yang terancam) memasukkannya ke dalam Apendiks II.
4. Ular Sanca Hijau
Sanca hijau adalah sejenis ular Sanca pohon yang ditemukan di Pulau Papua beserta kepulauan sekitarnya dan Semenanjung Tanjung York di Australia.
Deskripsi Umum
Sanca hijau dicirikan dengan tubuhnya yang relatif langsing. Ekornya yang relatif panjang terhitung sekitar 14% dari panjang total hewan ini. Kepala hewan ini besar dan bisa dengan jelas dibedakan dari lehernya. Hewan ini memiliki moncong yang besar dan lancip. Penampang tubuh hewan ini berbentuk segitiga dengan tulang belakang yang menonjol. Hewan ini biasanya mencapai panjang total 1,5-1,8 meter (4,9-5,9 kaki) namun betina berukuran besar panjangnya bisa mencapai 2 m (6,6 ft). Ukuran hewan ini juga bervariasi berdasarkan daerah asalnya. Berat hewan ini sangat bergantung pada status nutrisinya. Jantan bisa mencapai berat sekitar 1,1-1,4 kg (2,4-3,1 pon), sementara betina bisa mencapai 16 kg (35 lb). Spesimen yang lebih besar dari biasanya seberat 22 kg (49 lb) merupakan betina, sebagaimana kebanyakan ular lainnya dimana ukuran betina sedikit lebih besar dan berat daripada jantan. Seekor sanca hijau berbintik sedang beristirahat; menunjukkan moncong lancipnya yang khas.
Habitat
Habitat utama hewan ini adalah hutan hujan, semak belukar dan pepohonan. Ancaman terbesar terhadap hewan ini adalah kehancuran habitat dikarenakan penebangan hutan. Disamping itu corak dan keindahan warna kulit Ular ini juga banyak menarik para pemburu untuk menangkap dan membunuhnya untuk diambil kulitnya, sehingga dikuatirkan populasi Ular Sanca Hijau semakin menyusut di alam bebas. Namun UICN belum memasukkan satwa eksotis ini dalam kelompok hewan yang dilindungi karena jumlahnya masih cukup berlimpah terutama di hutan-hutan Papua Indonesia, Pulau Biak, Pulau Yapen dan sekitarnya, Kepulauan Raja Ampat, Kepulauan Aru, Maluku Utara dan Semenanjung York di Australia.
Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia