"SELAMAT DATANG DI BLOG EKOGEO"(Pendidikan, Geografi dan Lingkungan)

Sabtu, 01 Juli 2017

GUNUNG BERAPI : SEJARAH LETUSAN EKPLOSIF YANG TERCATAT DI MUKA BUMI

    Gunung berapi adalah jenis gunung yang tersendiri. Oleh karena kedahsyatan dan keelokannya maka hanya sedikit saja hukum pengatur perilaku gunung biasa yang berlaku bagi gunung berapi. Gunung biasa ini tumbuh dan menyusut dengan tidak tercerap panca indra. Sebaliknya gunung berapi mempertunjukkan tabiat yang tidak terduga-duga, lahir mendadak sontak dengan gaduh dan ganasnya, dan terkadang menjadi lebih tinggi 300 meter tiap tahunnya. Maka dari itu tidak ada dua gunung berapi yang sama. Tahun berganti tahun tidak ada gunung berapi yang selalu sama bentuknya. Dan sebelum akhirnya padam semuanya, sama-sama mempunyai sifat unik, yaitu dapat membentuk dan mengubah diri dengan bahan baku berupa lelehan yang menggelegak dari perut bumi yang tidak pernah tenang. Tentang gunung memang telah banyak diketahui, khususnya dalam setengah abad terakhir. Namun penyebab-penyebab dan perilakunya masih banyak yang terselubung misteri.
    Sejak awal zaman peradaban manusia, orang telah hidup di pangkuan gunung berapi yang penuh tipu daya. Salah satu sebabnya adalah karena banyak gunung berapi timbul di pulau-pulau yang tanahnya sangat disukai orang. Alasan lainnya ialah karena beberapa bahan muntahan gunung berapi menyebabkan adanya tanah pertanian yang bagus sekali. Namun gunung berapi telah banyak meminta korban yang mengerikan di antara orang-orang yang terus menerus mendiami daerah di sekitar kakinya. Selama 2.000 tahun yang lalu saja satu juta manusia atau lebih telah tersapu kegiatan gunung berapi.
 
 Letusan Ekplosif Gunung Pelee
    Pada abad ke 17 filsuf Perancis, Descertes menyatakan bahwa kegiatan gunung berapi adalah hasil kobaran minyak yang hebat di dalam bumi. Baru pada abad ke 20 para ahli dapat menduga hakekat gejala gunung berapi yang sebenarnya dengan menggunakan alat dan teknik yang baru sama sekali. Dengan menyelidiki kedalaman di bawah gunung-gunung berapi memakai seismograf, dan mengukur perubahan-perubahan kecil pada topografi gunung berapi memakai penyipat kemiringan, dengan menganalisa muntahan secara kimiawi dan dengan mengamati kawah-kawah aktif dari pos-pos pengawasan di sekelilingnya, maka setahap demi setahap para ahli vulkanologi menemukan apakah penyebab berdenyutnya gunung berapi dan apakah yang membuatnya berhenti berdenyut.
    Meskipun tidak ada dua gunung berapi yang sungguh identik, namun perbedaan perilakunya memungkinkan kita untuk membuat dua penggolongan yang tegas yaitu gunung berapi eksplosif dan gunung berapi yang tenang. Di dalam masing-masing golongan ini ada keanekaragaman perilakunya, namun jenis pertama cenderung untuk menciptakan gunung berapi kerucut, yang terbentuk oleh timbunan bahan padat muntahan mulut utama gunung di puncak. Gunung tersebut mungkin terbentuk dengan cepat oleh serangkaian letusan berjangka pendek dan kemudian tidur, atau pertumbuhannya lambat dan sporadis selama beribu-ribu tahun. Sepanjang pengetahuan kita dewasa ini, tidak mungkinlah menentukan apakah kerucut yang belum lama berselang aktif itu sungguh-sungguh mati. Apa yang dikatakan dengan cukup aman hanyalah bahwa semakin lama tidak terjadi letusan, semakin besarlah kemungkinan gunung tersebut mati. 
    Gambaran letusan Ekplosif Gunung Vesuvius, Italia
      Menurut tradisi dan sejarah Romawi, Vesuvius tidak pernah meletus sebelum letusannya pada tahun 79 Masehi, meskipun terkadang mengeluarkan asap sedikit dan jelas bersifat kegiatan gunung berapi, persis seperti gunung Etna dan Stromboli di dekatnya. Semenjak saat itu, Vesuvius masih berkali-kali meletus, beberapa letusannya kecil dan 18 letusannya besar, sedang yang terakhir pada tahun 1944. Namun demikian tidak seorangpun dapat meramalkan dengan tepat saat ataupun kemungkinan akan meletusnya lagi, dan tidak adalah ilmuwan yang berani menyatakan bahwa Vesuvius sudah mati.

 Letusan Anak Krakatau saat ini (Krakatau  meletus dahsyat tahun 1883)
    Letusan beberapa kerucut eksplosif tidaklah begitu hebat, tetapi gunung kerucut ada yang namanya menjadi tersohor karena ledakan dahsyatnya. Gunung tersebut benar-benar meledak dan menjadi berantakan. Ledakan seperti itu melampaui ledakan nuklir terdahsyat, dan hampir tidak terperikan kengeriannya. Contoh terbagusnya adalah hancur leburnya sebagian kepulauan Krakatau di Selat Sunda, Indonesia pada tahun 1833. Letusan ini menjadikan seluruh gunung tidak tampak lagi. Akibatnya, dinding-dinding di Bogor, Jawa Barat yang terletak 150 km dari tempat kejadian itu, retak-retak juga terjadi tsunami atau gelombang pasang. Gelombang pasang itu menelan 36.000 jiwa di pantai-pantai sekitarnya, dan bunyi ledakannya terdengar sampai 4.800 km jauhnya. Abu yang tersembur ke udara baru pada tahun berikutnya turun mengendap, menimbulkan panorama matahari tenggelam yang elok di seluruh dunia. Depresi besar atau kaldera selebar 6,4 - 8 kilometer dan tempat terdalamnya 279 meter di tempat gunung itu semula, lama diduga sebagai akibat hilang berantakannya puncak gunung tadi. Tetapi berkat adanya penyelidikan baru, para ahli vulkanologi menjadi yakin bahwa ledakan yang meluluhlantakan batu apung dan batu karang lain yang panas sebanyak 18 kilometer kubik dari dalam gunung itu mengosongkan rongga bawah tanah dan meruntuhkan puncaknya ke dalam.
Efek letusan Krakatau dan Tambora menyebabkan langit berwarna merah di seluruh dunia
    Letusan serupa pada tahun 1815 yakni letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa sebelah timur Jawa, meminta korban kira-kira 47.000 orang. Meninggalnya ada yang karena tenggelam dan ada yang lebih banyak lagi karena kelaparan dan penyakit. Seperti halnya letusan Krakatau, Gunung Tambora memuntahkan isi perutnya dengan dahsyat dan menyebabkan runtuhnya bagian puncak gunung meninggalkan rongga yang cukup dalam berupa kawah lebar dengan diameter puluhan kilometer dan kedalaman hampir satu kilometer. Gunung Tambora yang semula diperkirakan memiliki tinggi lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut, sekarang hanya menyisakan ketinggian 2.850 meter , karena bagian puncaknya hancur luluh lantak akibat letusan ekplosifnya.

 Animasi Letusan Ekplosif Gunung berapi St.Helena (Amerika Serikat)
    Memasukkan gunung berapi ke dalam golongan jenis ekplosif atau tenang tidak selalu mudah, sebab beberapa gunung yang tenang atau bahkan yang tidur dapat dengan tiba-tiba saja meletus, dan meletusnya dengan dramatis pula. Contohnya adalah Gunung Pelee di Laut Karibia. Pada musim semi tahun 1902, kota St.Pierre di kaki gunung itu merupakan salah satu masyarakat paling makmur di Hindia Barat. St.Pierre terletak di pulau Martinique dekat pelabuhan yang banyak disinggahi kapal dengan latar belakanghamparan hijau perkebunan tebu.
Delapan kilometer dari situ berdirilah gunung membayangi kota yang sudah setengah abad tidur dan yang secara akrab disebut orang kota St.Pierre "Papa Pelee". Puncaknya menjadi obyek pemandangan pariwisata hari minggu. Kemudian apa yang nampaknya mustahil pun terjadilah. Pada suatu pagi, saat belum lama berselang rumah-rumah bermandikan sinar matahari pagi di sepanjang pantai, keadaan berubah menjadi reruntuhan penuh nyala api. Dalam reruntuhan itu bergelimpangan mayat semua penduduk kota, sebanyak 30.000 orang dikurangi tiga orang yang terhindar. Satu di antara ketiganya adalah seorang tahanan di sebuah penjara berjendela kecil sekali yang aman dari ledakan-ledakan gunung itu.
    Saksi mata dari kota di dekatnya selanjutnya menceritakan bagaimana kedatangan bencana itu. Pelee mendatangkan bencana bukannya tanpa peringatan sebelumnya. Selama beberapa minggu gunung itu sudah gelisah tidak seperti biasa, menghembuskan asap dan abu, serta mengguncangkan kota dengan gempa-gempa kecil. Pada suatu ketika, sesudah letusan singkat, pabrik penyulingan gula di lerengnya terkena dan mengubur 150 pekerja dalam lumpur membara. Meskipun beberapa orang telah mengungsi, namun kota St.Pierre terisi lagi oleh orang bukit yang berduyun-duyun masuk kota. Ketika tanda-tanda bahaya bertambah, banyak orang berpikir untuk mengungsi, namun mereka dapat ditenangkan oleh tindakan gubernurnya. Karena yakin bahwa segalanya telah beres, ngerinya gubernur itu mengungsikan keluarganya dari ibukota Port de France ke St.Pierre.
Gambaran Awan Panas yang menghanguskan Kota St.Pierre
    Kemudian pada tanggal 8 Mei jam 7.52 pagi terbukalah sebuah lubang besar di lereng selatan yang mengarah ke St.Pierre. Langit seakan-akan terbelah suara mesin-mesin di seluruh dunia yang meledak serentak. Dua semburan asap panas muntah dari lubang itu, satu membumbung ke langit setinggi 11 kilometer, lainnya meluncur ke bawah menuruni lereng menuju pelabuhan dan laut. Dengan bergulung-gulung dan berhembalangan bagaikan singa-singa melompat, awan pijar yang penuh partikel reruntuhan ledakan melanda kota dengan kecepatan kira-kira 150 kilometer perjam. Di Port de France kota yang berdekatan, petugas telegraf di kantor pos baru saja selesai mencatat laporan berita rutin tentang keadaan gunung berapi itu dari petugas telegraf di kantor pos St.Pierre. Ia mulai menyampaikan berita penerimaannya, tetapi hubungannya sudah lenyap. Belum satu menit St.Pierre sudah tertelan awan itu dan runtuh luluh lantak diterjang asap panas yang menyala, gas-gas dan debu.
    Para penyelamat segera datang dari Port de France, tetapi karena tanah di StPierre masih panas, mereka tidak dapat mendarat selama berjam-jam. Waktu mendarat, mereka hanya menemukan tiga orang yang masih hidup. Yang pertama, seorang wanita di dapur, meninggal beberapa menit sesudah ia ditemukan. Yang kedua seorang laki-laki berhasil lari sampai pinggiran kota, tetapi tidak lama kemudian ia pun meninggal juga. Tiga hari kemudian terdengar teriakan pelestari ketiga yang minta tolong dari dalam reruntuhan berasap. Suara tersebut berasal dari sel penjara kota. Disitu terdapatlah seorang negro muda yang menderita luka bakar hebat namun selamat, bernama Ludger Sylnaris. Ia selamat dari maut sebab selnya hanya berjendela kisi kecil yang dapat menangkis serbuan keras awan Pelee. Sylbaris mengatakan bahwa ia tak mendengar suara, tak melihat api, dan bahwa panas yang menyiksa itu hanya sebentar saja. Namun saat mengerikan itu sudah cukup untuk membunuh 30.000 orang semuanya warga kota St.Pierre kecuali Sylbaris.
Etna and Stromboli Erupsion
   Letusan terkenal sebelumnya dalam sejarah adalah ledakan yang membinasakan kota Romawi Pompei pada tahun 79 sesudah Masehi. Setelah berabad-abad tenang gunung Vesuvius tiba-tiba bangkit, dan selama tiga hari beruntun menghujankan abu dan batu apung ke kota pantai Pompai yang mewah itu. Beberapa penduduk kota lolos, tetapi sekitar 16.000 orang tewas dalam reruntuhan yang menumpuk hingga enam meter tingginya. Dengan cepat gunung berapi itu menyerang sehingga banyak orang terkubur di tempat mereka berdiri, dan acuan tubuhnya ditemukan utuh dalam abu. Meskipun membinasakan salah satu kota klasik terindah di dunia, bencana itu merupakan berkah bagi generasi mendatang karena secara unik merekam kehidupan Romawi serta peninggalan seni Yunaninya.
    Arsitektur Pompei sampai detail sekecil-kecilnya terpelihara dengan sangat sempurna selama berabad-abad. Blok-blok batu masif yang dahulu merupakan jalan Romawi masih jelas memperlihatkan bekas roda kereta kuno. Telur-telur yang siap direbus berabad-abad yang lalu, masih tetap utuh kulitnya. Vesuvius juga merupakan berkah bagi para petani Italia modern. Abu tebaran gunung berapi yang meledak berkali-kali sesudah itu selama 1.900 tahun telah menyebabkan tanahnya sedemikan subur sehingga beberapa panenan anggur serta jeruk Italia yang paling berlimpah pun berasal dari hasil pengolahan lereng-lereng gunungnya .
Jenajah penduduk kota Pompei terekam dalam awetan abu Vesuvius

    Satu pertanyaan yang sebagian sudah terjawab oleh penelitian modern ialah mengenai unsur dalam awan panas mengerikan yang telah membinasakan St.Pierre dan mungkin juga mengenai bahan dalam awan maut Vesuvius yang membunuh 16.000 orang lebih di tahun 79 serta 200 orang dalam satu malam pada tahun 1906, sebab dua bencana itu ada kesamaannya. Menurut dugaan unsur utamanya adalah uap kelewat panas yang digodok sampai suhu 800oCelcius. Uap itu bercampur dengan berton-ton debu karang yang hancur oleh ledakan dan berpijar oleh api yang sangat panas. Campuran debu karang itulah yang cukup memberatkan awan untuk bergulung-gulung menuruni gunung menuju St.Pierre. Yang hampir pasti juga adalah bahwa gas-gas lain seperti karbondioksida dan asam belerang bercampur dengan asap itu. Banyak orang mati ketika menghirup gas-gas tersebut. Mengingat sifat campuran dan panasnya yang menghanguskan, sungguh suatu keajaiban apabila ada seseorang yang masih hidup.

Sumber : Gunung : Lorus J.Milne, Pustaka Alam Life
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon maaf, Blog Ini dibuat dengan konten berbagai sumber untuk menumbuhkan cinta lingkungan pada generasi muda Indonesia baik flora, fauna maupun alamnya dan sama sekali tidak bertujuan komersial.

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.