Bandotan puspa (Daboia siamensis) adalah sejenis Beludak berbisa yang tersebar di beberapa wilayah Asia Tenggara, Tiongkok selatan dan Taiwan.
Panjang total tubuhnya dapat mencapai 1,5 m. Warna dasar tubuhnya kuning kecokelatan Kepala berbentuk segitiga dengan 3 buah bintik besar berwarna coklat tua. Satu berada di antara mata dan dua buah lainnya berada di dekat tengkuk. Di bagian perisai punggungnya bersisik-sisik kecil yang berlunas terdapat corak-corak bulat berukuran besar berwarna cokelat tua.
Bibir atasnya terdiri dari 10-12 sisik, terpisah dari mata oleh sebaris sisik-sisik yang kecil. Nostril amat besar. Ada sisik nasorostral antara sisik rostral dan sisik nasal. Sisik supraocular kecil, saling terpisah satu sama lain oleh 6-9 sisik. Sisik dorsal pada bagian tengah badannya terdiri dari 27-33 baris, sisik-sisik ventrolateral halus dan selebihnya berlunas. Sisik-sisik ventral berjumlah 153-180. Sisik anal tunggal. Sisik-sisik subcaudal berjumlah 41-64 dan terdiri dari 2 baris sisik.
Penyebaran
Ular ini tersebar luas di Myanmar, Thailand bagian utara dan tengah, Kamboja, Laos, Vietnam, Tiongkok (Guangxi, Guangdong), Taiwan, serta beberapa pulau di Indonesia. Di Indonesia sendiri ular ini hanya terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah bagian timur, Madura, dan Nusa Tenggara Timur (Pulau Ende, Flores, Komodo, Rinca, Lomblen, Kisar, dan Wetar).
Ular ini ditemukan pada daerah kering yang ditumbuhi banyak ilalang (rumput tinggi) di dataran rendah dan perbukitan gersang (khususna daerah-daerah yang mengandung zat kapur). Aktif pada malam hari. Ular ini mempunyai perilaku yang khas pada saat menyembunyikan dirinya yaitu badannya akan bergulung di dalam alang-alang (rerumputan) yang kering. Perkembang-biakannya dengan cara beranak (ovovivipar), betina melahirkan sebanyak 20-30 ekor. Makanan utamanya tikus, selain itu burung dan katak. Ular ini termasuk jenis yang mempunyai racun bisa yang kuat dan gigitannya dapat membahayakan manusia.
Bisa
Sebuah Antibisa, bernama "Russell's Viper Antivenin", dibuat di Thailand oleh Palang Merah Thailand untuk mengobati bisa dari hewan ini.
2. Ular tanah (Calloselasma rhodostoma)
Ular tanah (Calloselasma rhodostoma) adalah sejenis ular keluarga Beludak berbisa yang amat agresif. Termasuk ke dalam anak suku Crotalinae (bandotan berdekik), ular tanah menyebar di Asia Tenggara dan Jawa. Ular ini juga dikenal dengan nama-nama lokal seperti Bandotan bedor, oray lemah, oray gibug (Sd.), ular edor (Karimunjawa), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Malayan pit viper.
Ular Tanah |
Ular ini berukuran tidak terlalu besar, cenderung gemuk, dan agak pendek. Panjang rata-rata sekitar 76 cm, hewan betina cenderung lebih panjang dari yang jantan; kadang-kadang dijumpai pula spesimen yang lebih panjang, hingga 91 cm.
Punggung berwarna cokelat agak kemerahan atau kemerah-jambuan. Sepanjang bagian tengah punggung dihiasi oleh 25–30 pasang corak segitiga besar cokelat gelap, berseling dengan warna terang kekuningan atau keputihan; dan puncak segitiga-segitiga itu bertemu atau berseling di garis vertebral. Sisi samping (lateral) berwarna lebih pucat atau lebih buram, dengan bercak-bercak cokelat gelap besar terletak beraturan hingga ke dekat anus. Sisi bawah tubuh putih kemerah jambuan, bebercak cokelat gelap dan terang. Keseluruhan warna punggung itu memberi kesan penyamaran yang kuat manakala ular berada di antara serasah kering.
Sisi bawah tubuh
Kepala menyegitiga dengan moncong meruncing; berwarna cokelat gelap, dengan sepasang pita keputihan di atas mata dan pola keputihan serupa anak panah di tengkuk. Sisi kepala cokelat gelap dan bibir berwarna putih abu-abu jambon, batas kedua warna itu berbiku-biku serupa renda. Kulit dinding mulut putih kebiruan.
Sisik ventral 148-166, anal tunggal (tak berbagi), subkaudal 35-52; sisik dorsal dalam 21 (jarang 19) deret; sisik labial atas 7-9, tak ada yang menyentuh mata. Tak sebagaimana lazimnya bandotan berdekik, sisi atas kepala ular tanah tertutupi oleh perisai-perisai yang simetris. Ciri ini bersifat khas dan tak ada duanya di antara kelompok bandotan berdekik Asia.
Ular ini tersebar di Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaya bagian utara dan Jawa, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, dan Karimunjawa. Lokasi spesimen tipe yang dideskripsikan adalah "Jawa".
Ekologi dan kebiasaan
Ular tanah merupakan predator penyergap, hanya melingkar di tanah atau di atas serasah menunggu mangsanya lewat di dekatnya dan jarang bergerak. Ular ini menghuni hutan belukar, semak-semak, atau lahan pertanian yang lembab dan kurang terurus. Sering pula ditemukan di sekitar pemukiman.
Mangsanya adalah hewan pengerat kecil, burung, kadal, dan kodok, ular tanah terutama aktif pada malam hari (nokturnal). Ular ini berkembang biak dengan bertelur (ovipar), dan telur-telurnya dijagai oleh betina hingga menetas.
Pola warna dan perilakunya memberikan kamuflase yang baik, sehingga ular tanah tidak mudah terlihat dan sering terlewat dari perhatian. Di pihak lain, ular ini sangat agresif dan dapat menyerang dengan cepat jika merasa terganggu. Ular ini memipihkan badannya disaat merasa terancam, membentuk leher seperti huruf "S" dan siap menyerang.
Gigitan dan bisa
Di Semenanjung Malaya bagian utara, diperkirakan terjadi 700 kasus gigitan ular ini pada manusia setiap tahun, dengan tingkat kematian sebesar 2 persen. Gigitan ular ini sangat menyakitkan, menimbulkan pembengkakan, dan kadang-kadang terjadi kematian jaringan (gangreen, nekrosis). Meskipun gigitan fatal jarang terjadi, namun banyak korbannya yang kemudian mengalami kerusakan atau disfungsi anggota badan, atau bahkan harus diamputasi, karena ketiadaan serum anti-bisa atau keterlambatan pengobatan.
Pada pihak lain, bisa ular tanah mengandung bahan anti-koagulan yang dapat mencegah pembekuan darah. Telah sejak lama diusulkan untuk mengisolasi bahan aktif ini, untuk kepentingan pengobatan trombosis. Salah satu bahan aktif ini adalah ancrod, enzim serupa-trombin yang kini digunakan secara luas untuk penelitian, dan untuk pengobatan klinis sebagai anti-koagulan.
3. Ular Bangkai Laut (Trimeresurus albolabris)
Ular bangkai laut adalah sejenis ular berbisa yang berbahaya. Memiliki nama ilmiah Trimeresurus albolabris, ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti oray bungka, oray majapait (Sd.), ula bangka-laut atau ula gadung luwuk (Jawa), ulah sanggit (Lombok), tarihu (Dompu), dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama white-lipped tree viper, white-lipped pit-viper, merujuk pada bibirnya yang berwarna keputih-putihan, atau bamboo pit-viper karena kebiasaannya berada di rumpun bambu.
Ular ini juga dinamai ular hijau karena warna tubuhnya. Namun penamaan ini bisa menyesatkan, karena cukup banyak jenis-jenis ular pohon yang berwarna hijau, seperti halnya ular pucuk (Ahaetulla spp.) dan ular bajing (Gonyosoma oxycephalum) yang tidak berbahaya.Ular yang sedang besarnya, agak gemuk pendek dan tak begitu lincah. Kepala jelas menjendol besar, seperti seekor kodok yang ‘tertancap’ di atas leher yang mengecil. Memiliki dekik pipi (loreal pit) yang besar dan menyolok di belakang lubang hidung di depan mata. Sepasang taring besar dan panjang yang bisa dilipat terdapat di bagian depan rahang atas, tertutup oleh selaput lendir mulut.
Panjang ular jantan sekitar 60 cm dan yang betinanya bisa mencapai 80 cm. Berekor kecil pendek, sekitar 10-13 cm, namun kuat ‘memegang’ ranting yang ditempatinya (prehensile tail). Kepala dan tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hijau daun, dengan bibir keputihan atau kekuningan (albolabris; albus, putih dan labrum, bibir). Terdapat warna belang-belang putih dan hitam pada kulit di bawah sisik pada tubuh bagian depan, yang baru tampak bila ular merasa terancam. Sisi bawah tubuh (ventral) kuning terang sampai kuning pucat atau kehijauan; pada hewan jantan dengan garis kuning yang lebih tua (atau lebih nyata) pada batas dengan warna hijau (garis ventrolateral). Sisi atas ekor berwarna kemerahan, seolah-olah terpulas oleh lipstik.
Tak seperti kebanyakan ular, yang sisi atas kepalanya tertutup oleh sisik-sisik berukuran besar (disebut perisai) yang tersusun simetris, sisi atas kepala ular bangkai laut (dan umumnya marga Trimeresurus) ini ditutupi oleh banyak sisik kecil yang terletak tidak beraturan; setidaknya, tak membentuk pola simetris. Melintasi atas kepala di antara kedua matanya, terdapat sekitar 8-12 deret sisik kecil; tidak termasuk sebuah perisai supraokular yang sempit memanjang --kadang-kadang membesar pula-- di atas masing-masing bola matanya. Perisai labial (bibir) atas 10-11 (12) buah; yang paling depan bersatu sebagian atau seluruhnya dengan perisai nasal (hidung).
Sisik-sisik dorsal kasar berlunas, tersusun dalam 21 (jarang 19) deret. Sisik ventral 155-166 buah pada hewan jantan, dan 152-176 pada yang betina. Sisik subkaudal (di bawah ekor) 60-72 pasang pada ular jantan dan 49-66 pasang pada ular betina.
Kebiasaan
Ular yang aktif di malam hari (nokturnal) dan tidak begitu lincah. Kerap terlihat menjalar lambat-lambat di antara ranting atau di atas lantai hutan; meskipun apabila terancam dapat pula bergerak dengan cepat dan gesit. Menyukai hutan bambu dan belukar yang tidak jauh dari sungai, ular bangkai laut sering didapati berdiam di antara daun-daun dan ranting semak atau pohon kecil sampai dengan 3 m di atas tanah. Tidak jarang pula ditemukan di kebun dan pekarangan di dekat rumah.
Mangsa ular ini terutama adalah kodok, burung dan mamalia kecil; juga kadal. Perburuannya dalam gelap malam amat dibantu oleh indra penghidu bahang (panas) tubuh yang terletak pada dekik pipinya. Pada siang hari ular ini menjadi lembam, dan tidur bergulung di cabang pohon, semak atau kerimbunan ranting bambu. Sering pula ditemukan ular-ular yang kesiangan dan lalu tidur sekenanya di dekat pemukiman orang, seperti di tumpukan kayu atau di sudut para-para di belakang rumah.
Ular bangkai laut bersifat ovovivipar, yakni telur-telurnya menetas semasa masih di dalam perut dan keluar sebagai anak-anak ular, sehingga seakan-akan melahirkan. Anaknya dapat mencapai lebih dari 25 ekor sekali ‘bersalin’ (David and Vogel, 1997). Anak-anak ular ini turun ke lantai hutan dan vegetasi bawah untuk memburu kodok yang menjadi makanannya.
Anak jenis dan Penyebaran
Sejauh ini dikenal tiga anak jenis T. albolabris (David and Vogel, 1997), yakni:
- T.a. albolabris (Gray, 1842), menyebar di India utara (Assam), Kep. Nikobar, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Tiongkok selatan, Hong Kong, Semenanjung Malaya, Sumatra, , Sulawesi, Jawa, Madura dan Borneo (?, masih diragukan). Stuebing dan Inger, 1999, pun tidak mencantumkan ular ini dalam bukunya.
- T.a. insularis Kramer 1977, menyebar di Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Flores, Sumba, Roti, Timor, Kisar, Alor, Wetar dan pulau-pulau di sekitarnya. Anak jenis ini sudah dipisah menjadi jenis tersendiri, yakni Trimeresurus insularis.
- T.a. septentrionalis Kramer 1977, menyebar di Bangladesh, India dan Nepal. Beberapa ahli, misalnya Giannasi dkk (2001), menganggapnya sebagai spesies tersendiri, yakni Trimeresurus septentrionalis.
Ular bangkai laut termasuk ular yang agresif, mudah merasa terganggu dan lekas menggigit. Ular ini merupakan penyumbang kasus gigitan ular terbanyak, yakni sekitar 50% kasus di Indonesia (Kawamura dkk. 1975, seperti dikutip dalam David and Vogel, 1997). 2,4% di antaranya berakibat fatal.
Menurut pengalaman, ular ini biasanya menggigit para pencari kayu bakar, pencari rumput atau gembala yang tengah berjalan di hutan. Keyakinan orang-orang desa di Dompu, Sumbawa, ular ini menggigit sebab merasa terganggu. Ketika serombongan orang lalu di hutan, orang pertama yang lewat dan secara tak sengaja menyenggol dahan tempat tidur ular tarihu ini biasanya selamat, tak digigit. Ular itu hanya terbangun dan berwaspada. Orang kedua atau ketigalah yang biasanya tergigit.
Seperti umumnya ular bandotan (viper), ular bangkai laut ini memiliki bisa yang berbahaya. Bisa ini disuntikkan ke tubuh korbannya melalui sepasang taring besar melengkung yang beralur di tengahnya. Meski demikian, tidak semua gigitan ular disertai dengan pengeluaran bisa. Gigitan ‘kering’, yang bersifat refleks atau peringatan, biasanya tidak disertai bisa dan karenanya tidak membahayakan. Gigitan ‘kering’ ular ini tidak menimbulkan gejala-gejala keracunan seperti yang diuraikan di bawah.
Bisa ular ini, dan umumnya ular Crotalinae, bersifat hemotoksin, merusak sistem peredaran darah. Gigitan ular ini pada manusia menimbulkan rasa sakit yang hebat, dan kerusakan jaringan di sekitar luka gigitan. Dalam menit-menit pertama setelah gigitan, jaringan akan membengkak dan sebagian akan berwarna merah gelap, pertanda terjadi perdarahan di bawah kulit di sekitar luka. Menyusul terjadi pembengkakan, rasa kaku dan nyeri yang meluas perlahan-lahan ke seluruh bagian anggota yang tergigit. Rasa nyeri terasa terutama pada persendian antara luka dan jantung. Apabila tidak ditangani dengan baik, perdarahan internal dapat menyusul terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian, dan bahkan dapat membawa kematian.
4. Ular Bandotan Candi
Bandotan candi (Tropidolaemus wagleri) adalah sejenis ular pohon berbisa dari anak suku Crotalinae (bandotan berdekik). Ular ini juga dikenal dengan nama-nama lokal seperti ular punai (Jambi), Ular cintamanis (Batak), Ular kapak tokong, Dupong (Malay), dan sebagainya. Dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Temple viper. Ular ini terdapat di wilayah tropis Asia tenggara.
Bandotan Candi |
Bibir atasnya terdiri dari 8-10 sisik, yang pertama tidak bersatu dengan sisik nasal, yang kedua letaknya rendah sehingga terpisah dari lubang loreal oleh 2 sisik kecil, dan yang ketiga biasa ukurannya lebih besar. Sisik supraocular ukurannya kecil atau menonjol ke atas. Sisik subocular besar terpisah dari sisik bibir atas oleh 2-3 baris sisik. Sisik dorsal pada bagian tengah badannya terdiri dari 21-27 (jarang yang 19) baris, seluruhnya berlunas. Sisik-sisik ventral berjumlah 127-154. Sisik anal tunggal atau ganda. Sisik-sisik subcaudal berjumlah 45-56 dan terdiri dari 2 baris sisik.
Warna tubuh pada ular yang dewasa: Kepala bagian atas berwarna hitam dengan corak tak beraturan berwarna hijau. Bibir, dagu dan lehernya berwarna kuning dan putih kehijau-hijauan, sisik-sisiknya dengan garis sutur berwarna hitam. Pada punggungnya yang hitam ada beberapa bintik-bintik hijau dengan pinggir hitam yang menyebar. Selain itu ada semacam pola belang-belang hijau di bagian punggungnya dan kuning di badannya. Bagian ventral biasanya berwarna putih kehijau-hijauan dengan corak kuning tak beraturan yang pinggirnya hitam dan kadangkala bertotol-totol hitam. Pada bagian ekornya berwarna hitam dan dengan bercak-bercak hijau.
Warna tubuh pada ular yang masih muda: Kepalanya hijau dengan coreng sempit di sisi yang berwarna putih (di atas) dan merah (di bawah). Punggung dan badannya hijau dengan totol-totol yang teratur berwarna sebagian merah dan sebagian putih, yang kadangkala membentuk rangkaian belang-belang. Bagian ekor seluruhnya kemerah-merahan.
Kebiasaan dan makanan
Ular ini umum ditemukan pada dataran rendah dan pegunungan hingga mencapai ketinggian 1000 m dpl. Akan tetapi kebanyakan berada di dataran rendah yang basah dekat perairan, seperti persawahan, tepi sungai, rawa-rawa dan hutan bakau. Aktifitas hariannya dilakukan secara arboreal baik pada malam hari juga di senja atau dini hari. Sementara pada ular yang muda lebih sering ditemukan di permukaan tanah. Perkembang-biakannya dengan cara beranak, betina akan mengeluarkan sekitar 15 ekor. Makanannya berupa binatang mamal kecil, burung, kadal dan katak. Seolah-olah ular ini sangat jinak, akan tetapi ternyata jenis ini termasuk yang mempunyai racun bisa dan dapat menyebabkan luka serius serta sakit sekali bagi manusia.
Penyebaran dan habitat
Tersebar di Burma (Myanmar) selatan, Thailand, Kamboja, Malaysia, Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Buton, dan sebagian Filipina. Lokasi spesimen tipe adalah "Sumatra".
Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia